Pekandangan: bikin hidup tambah hidup dan mak yezssss!

Kurang dari dua tahun, hidup bersama orang kampung Pekandangan terasa cukup bikin hidup tambah hidup. Pekandangan adalah satu desa di hulu Way (sungai) Seputih yang berbatasan dengan Hutan Lindung Register 39, di Kabupaten Lampung Tengah.




Awal mula aku berfikir kampung ini adalah sebuah kampung yang memiliki nilai historis seperti juga suasana kampung umumnya. Tapi kenyataannya berbeda, kampung ini dihuni oleh para migran dari suku Sunda dan Jawa. Mereka dulunya bekerja pada pemilik perusahaan kayu di tahun 70-an. Wilayah sekitar Pekandangan kala itu masih hutan belantara. Waktu perusahaan kayu berhenti beroperasi, kampung ini berkembang menjadi pemukiman kecil. Masyarakatnya kemudian hidup sebagai penebang kayu (illegal), penangkap burung, dan membuka kebun kopi.

Kampung ini berada di hulu Way Seputih dan Way Sekampung. Pemerintah kabupaten pun tertarik untuk melakukan kegiatan di tahun 2000-an dengan mengembangkan berbagai pilot proyek. Tapi sayang hasilnya hingga saat ini tak jelas. Tak jelas ke mana uang proyek yang melibatkan masyarakat? (ya …menguap aja gitu.. ga’ ada bekas). Kondisi ini membuat terjadinya krisis kepercayaan dari masyarakat kepada pemerintah. Dan desa pun seperti kehilangan arah, keharmonisan antar pamong desa pun hampir hilang. Belum lagi adanya ancaman mereka akan diusir dari wilayah itu. Katanya masih lahan mereka masih dikuasai oleh pemilik konsesi penebangan hutan di tahun 70-an yang lalu.

Konsidi Way Seputih yang masih baik dan bersih membuatku teringat pada suasana daerah di Sembahe (salah satu obyek wisata di Medan). Aku tertarik untuk dapat berbuat sesuatu, tertarik untuk mengembangkan sesuatu yang berguna buat orang kampung. Terlebih suasana kampung ini bagiku sangat indah. Suasana pagi yang sejuk dan suara siamang masih terdengar, meski samar-samar. Asik lah buat boker, dimana dubur menyentuh air yang dingin di Way Seputih …. mak yezssss rasanya!. Hal ini lah yang mungkin membuatku senang beraktivitas di Pekandangan, apalagi jaraknya hanya 3 jam dari rumahku di Metro (ibukota Lampung Tengah).

Pertengahan 2007, lewat seorang teman yang punya komitmen sama dengan diriku, aku mulai melakukan pendekatan dengan masyarakat. Mereka begitu welcome dan membuatku bersemangat untuk bisa lebih dekat dengan mereka. Dari kondisi-kondisi yang buruk selama ini terjadi, aku mencoba membuat pertemuan dengan kelompok–kelompok petani di sana. Aku mulai memberikan motivasi agar kelompok-kelompok tersebut dapat membuat perubahan ekonomi rumah tangga di Pekandangan. Dalam pertemuan-pertemuan tersebut, kami tidak hanya berdiskusi tentang bagaimana caranya meningkatkan hasil panen, tapi juga bagaimana peran desa dalam mengembangkan sumberdaya desanya.

Singkat cerita, kini telah nampak adanya hubungan yang lebih harmonis antara kelompok-kelompok petani dengan pamong desanya. Mereka mulai memikirkan bagaimana mewujudkan pemerintahan desa yang lebih kuat. Saat ini, keberadaanku di desa ini telah membuka mata para tokoh desa, meski aku tidak ikut mencampuri urusan adminitrasi desa.

Penguatan kelompok terus dilakukan. Dari hasil kesepakatan di kelompok, secara bergilir tiap anggota yang mendapat giliran kerja disepakati untuk bayar Rp 5.000 kepada kelompok, ditambah iuran arisan gabah dan lain-lain. Kini kelompok ini memiliki tabungan antara Rp 3.000.000 hingga Rp 8.000.000 per kelompok. Ada empat kelompok yang saat ini sedang dikuatkan.

Ini adalah perubahan besar yang menunjukan hasil cukup baik. Kelompok mulai mengatur kebutuhannya sendiri, dan bisa saling bagi. Kebutuhan untuk mendapatkan modal usaha pertanian mendorong kelompok untuk harus memikirkan hal lain seperti mendapatkan modal usaha tani. Lewat negosisasi dengan dinas pertanian akhirnya Desa Pekandangan menjadi salah satu desa yang mendapat dukungan Proyek Desa Mandiri Pangan. Melalui proyek ini desa dipercaya mengelola dana sebesar 80 juta rupiah.

Dana 80 juta itu selanjutnya dipakai sebagai modal awal membentuk sebuah lembagaan keuangan desa (Lembaga Keuangan Mikro). Tentunya lembaga milik orang kampung. Kebetulan aku diangkat oleh orang kampung untuk memperkuat kelembagaan sebagai manajernya. Nama lembaga ini adalah Lembaga Keuangan Mikro Wahana R.39 (LKM Wahana R.39). Dengan mekanime dan kontrol dari masyarakat maka penyaluran dana dilakukan lebih selektif dan melewati proses verifikasi oleh tim yang telah dibentuk. Hebat lho prosesnya, seperti membuat proposal – rencana bisnis dan kesiapan lahan! Atas dukungan dari anggotanya yang sudah berjumlah 83 orang, kini mereka tidak lagi mengantungkan hidup dari pinjaman tengkulak yang nyaris mencekik leher mereka.

Beberapa perubahan lain juga terjadi di Pekandangan. Contohnya seperti adanya sebuah radio komunitas yang aktif. Radio ini dibangun dengan swadaya masyarakat.

Sekarang orang kampung Pekandangan mulai tidak mikirkan kegiatan untuk mengekspoitasi hutannya. Mereka jadi lebih fokus pada kegiatan pertanian yang ada saat ini. Struktur kepengurusan desa juga mulai stabil. Malu sebetulnya aku, tapi orang kampung sekarang jadi memperhatikanku. Kata mereka ini "no proyek dan no fund". Mereka sampai bertanya tentang kondisi keluargaku dan lain sebagainya, terutama kenapa aku bisa ada di Pekandangan. Apa yaa?? Mungkin hobi ya … ??? Buatku pemberian dari mereka seperti kopi, lada sudah lebih dari cukup. Yaa … bisa dibilang aku ini bekerja dan dibayar oleh orang Kampung Pekandangan.

Banyak pekerjaan yang harus diselesaikan di Pekandangan. Sepertinya aku ga’ sanggup untuk bekerja sendirian. Butuh banyak bantuan dari teman-temanku yang lain. Pekandangan adalah tempat yang enak buat berkemah, atau jalan-jalan rileks atau lihat air terjun yang namanya Curup Tujuh. Kami juga baru bangun saung untuk pertemuan di sana, jadi lumayan lah buat istirahat. Atau …. mau ikut merasakan enaknya boker yang mak yezsss??

Salam dari Kidis
17 Juni 2008






"Berdaulat secara Politik, Mandiri secara Ekonomi, dan Bermartabat secara Budaya"

0 komentar:

Posting Komentar

Logo Telapak