Antara Gelora Bung Karno dan Luzhniki Stadium, dari Vladimir Putin sampai SBY (versi Lengkap)

Rabu malam, 21 Mei 2008, adalah saat yang tidak akan dapat saya lupakan. Terimakasih untuk kecanggihan teknologi, ketika hanya berselang 6 jam saja saya bisa menikmati tontonan sepakbola dari dua tempat yang berbeda. Pertandingan pertama berlangsung di Gelora Bung Karno (GBK) memperhadapkan antara dua tim sepakbola, PSSI melawan tamunya BMFC dari Jerman. Enam jam berikutnya berlangsung di Luzhniki, memperhadapkan antara juara liga Inggris MUFC melawan pesaing terberatnya CFC juga dari Inggris, memperebutkan tahta eropa. Jangan tanya tentang perbandingan kualitas diantara dua laga tersebut. Meski di Jakarta dan di Moskow sama-sama ada kesebelasan yang menggunakan kostum merah dan putih, tetapi keduanya nampak sangat berbeda nasib dan kesaktian, yang berlaga di Jakarta tampaknya perlu belajar bersepakbola yang baik lagi sebelum menerima tantangan dari lawan-lawannya dari luar negeri (meski mereka tampak bertanding tidak mengeluarkan kemampuan terbaiknya dan tidak berlaga dengan sepenuh hati).

Tetapi, saya tidak mau berlama-lama untuk bercerita tentang dua laga tersebut. Ada satu yang menarik perhatian. Perhatikanlah detil stadion tempat dimana kedua pertandingan tersebut dilaksanakan. Meski dipisahkan lautan dan benua berjarak ribuan kilometer, namun kedua stadion tersebut bersaudara. Identik, kembar! Luzhniki di Moskow dan GBK di Jakarta. Lihatlah arsitektur cincin baja temu gelang yang legendaris tersebut, sebuah keajaiban teknologi pada jamannya yang memungkinkan tidak diperlukannya tiang penyangga atap stadion. Bermodalkan internet, sayapun mencari tahu. Luzhniki didirikan pada tahun 1956 dan GBK 1960 (diresmikan 1962, saat Asean Games IV). Tidaklah aneh memang, karena rezim BK saat itu sedang mesra-mesranya berhubungan dengan blok timur, sebagai balasannya pihak Uni Soviet pun memberikan rekayasa teknik kelas satu yang langsung diadopsi bagi pembangunan stadion di Jakarta. Bayangkan saja, saat itu Australia saja belum memiliki Gedung Opera Sydney yang mashyur itu. Jakarta sudah memiliki Stadion termegah di dunia (hingga saat ini GBK masih termasuk 10 stadion terbesar di dunia). Jelas, GBK adalah adik kandung Luzhniki.

Tapi itu cerita sisa kejayaan masa lalu, betapa ngenesnya hati ini (sekaligus malu) melihat rumput di lapangan GBK yang sebagian menguning karena mati (karena saya nonton di TV sehingga sudut lapangan terlihat dari atas), saya berdoa semoga pertandingan ini tidak diliput oleh TV asing, malunya saya sebagai bangsa Indonesia, ketika melihat rumput lapangan GBK sekelas dengan kualitas lapangan rumput di tingkat kampung. Meskipun, orang bisa saja berkilah bahwa baru saja GBK dipakai untuk acara Harkitnas 2008, yang kebetulan rumputnya mati karena diinjak-injak oleh orang-orang bersepatu lars. Bagaikan bumi dengan langit jika dibandingkan dengan saudaranya Luzhniki. Rumputnya sangat baik, terjaga dan terpelihara, konon sengaja diimpor untuk pertandingan penting ini. (catatan: Luzhniki biasanya menggunakan rumput sintetis).

Belum lagi kalau bicara tentang kualitas pencahayaan stadion. Seperti biasa, pencahayaan di GBK ibarat ‘yang penting cukup untuk melihat bola’, dimana penonton bagaikan hantu, tidak terlihat wajahnya tapi terdengar suaranya. Mohon maaf, kembali sangat berbeda dengan Luzhniki yang sengaja dipermak, kursi diganti, cahaya stadion maksimal yang bagaikan siang hari, plus ‘giant screen’ untuk melihat replay adegan-adegan penting. Ada satu hal lain yang sangat berbeda, mungkin trauma dengan para penonton yang ‘mudah marah’ dan senang membakar-bakar kursi stadion kalau kesebelasan kesayangannya kalah, maka GBK dipagari oleh pagar yang tinggi. Sehingga, mungkin minimal dapat memperlambat para bonek yang bertujuan mau berlari ke tengah lapangan untuk memukuli wasit dan hakim garis. Hmm…, di Luzhniki tampaknya pagar pembatas hanyalah formalitas saja yang digunakan untuk membatasi penonton dengan atlit yang berlaga. Kemudian, bagaimana perjalanan kedua stadion ini? Luzhniki adalah saksi hidup Olympiade dan Kejuaran dunia hoki es, GBK hanya sekelas Sea Games, sekali Asian Games pada saat pembaptisannya dan sepakbola Piala Asia pada tahun 2007.

Pikiran saya pun tergoda untuk memperbandingkan kedua negara ini, ternyata kondisi stadion dapat dijadikan indikator untuk menentukan kesejahteraan dan kondisi dari dua bangsa ini. Indonesia dan Rusia adalah dua bangsa besar di dunia. Rusia adalah Negara terluas di dunia dengan jumlah penduduk 160 juta orang, terdiri dari berbagai bangsa serta agama yang berbeda, Kaukasus, Turk, Mongol dan sebagainya. Rusia adalah pewaris sah kekaisaran Rusia. Indonesia pun negeri kepulauan terluas di dunia, terdiri dari berbagai suku bangsa, negeri berpopulasi 230 juta orang, berwilayah eks koloni Hindia Belanda. Kedua negara ini dianugerahi kekayaan alam yang luar biasa. Namun, saat ini seperti kondisi yang tercermin dari Luzhniki, Rusia kembali berjaya, sedangkan Indonesia masih berjalan di tempat seperti yang tercermin dari GBK.

Rusia (1991) pernah terpuruk dan kehilangan muka di dunia internasional, hancurnya Soviet, disintegrasi republik-republik dalam Federasi dan hutang luar negeri benar-benar menyebabkan negeri ini mendapat predikat sebagai orang sakit di belahan bumi utara. Bahkan sama seperti Indonesia, Rusia pun menjadi pasien IMF. Sebuah hal yang sangat memalukan bagi sebuah eks adidaya. Chaos dan kelaparan dimana-mana, inflasi tinggi, mata uang rubel bergejolak dan tidak bernilai dipasar uang internasional, mafia menguasai ekonomi, bahkan senjata-senjata yang sangat ditakuti dalam perang dingin terpaksa disimpan karena ketiadaan kemampuan untuk membiayai anggaran pertahanan.

Hingga datanglah angin perubahan itu. Tidak ada seorangpun didunia yang pernah membayangkan bahwa orang yang ditunjuk oleh Boris Yeltsin sebagai penggantinya akan mampu menjadi penyelamat bangsa. Ya betul, Vladimir Vladimirovich Putin (lahir 7 Oktober 1952), sang ‘Kaisar’ baru asal Saint Petersburg, mantan intel dan anggota KGB, yang datang bertahta di atas puing-puing bangsa yang hancur. Sering diolok-olok sebagai ‘Vladimir who?..’ pada awal pemerintahannya, ia datang ketika rakyat berada dititik nadir kebanggaan sebagai satu bangsa. Apa yang ia lakukan? Putin memulai dari reformasi ekonomi. Ia tahu persis bahwa minyak dan gas adalah komoditas ekonomi dan politik. Ia pun menangkapi orang-orang kaya baru, para oligor (segelintir orang-orang kaya yang menguasai ekonomi), dengan dalih mereka telah melakukan kecurangan terhadap negara, ia pun mengirimkan orang-orang seperti Boris Berezovsky dan Mikhail Khodorkovsky ke dalam penjara, dan menasionalisasikan asset-asset perusahaan mereka.

Putin pun memberikan sinyal yang kuat untuk tidak ragu-ragu meng-khodorkovsky-kan orang-orang seperti Mikhail Fridman, Viktor Vekselberg, Vladimir Potanin, Roman Abramovich, Alexander Abramov dan Mikhail Prokhorov kalau-kalau mereka coba-coba bermain api dengannya. Ia pun tak segan untuk menyingkirkan pesaing-pesaing politiknya yang curang, yang dulu sama-sama mengelilingi Yeltsin. Tegas dan pasti, ia mengirimkan pasukan ke Dagestan untuk meredam separatis Chechen.

Perlahan, ia mengembalikan kesejahteraan rakyat Rusia. Delapan tahun ia berkuasa sejak 31 Desember 1999 sebagai Presiden Rusia kedua, ia meningkatkan nilai PDB menjadi enam kali lipat, mengurangi kemiskian lebih dari 50%, dan meningkatkan income perkapita bulanan masyarakat dari $80 menjadi $640. Cadangan devisa Rusia termasuk yang terbesar di dunia setelah China, sangat cukup untuk membentengi Rusia dari serangan spekulan valas internasional sekelas George Soros. Kenaikan harga minyak diatas $130/barrel saat ini menempatkan Rusia dalam kemakmuran. Disisi lain, sistem yang stabil menciptakan kepercayaan asing melalui FDI (foreign direct investment) yang mencapai $400 milyar, cukup untuk membuka lapangan kerja baru bagi rakyat.

Di bidang politik, ia mengirimkan pesan kepada barat, bahwa Rusia masih eksis. Pertama ia melunasi hutang Rusia kepada IMF sebesar 15 milyar dollar (beserta dendadendanya sekaligus, yang harus dibayar karena melunasi hutang sebelum waktunya!). Lewat kekuatan minyak dan gas, ia pun menggertak barat untuk tidak mencampuri urusan dalam negeri Rusia, jika perlu ia bersedia untuk menutup pipa yang menyalurkan gas ke Eropa yang akan berakibat dapat mengembalikan Eropa kembali ke zaman batu pada musim dingin. Di bidang diplomasi, ia menolak perluasan NATO ke arah timur Eropa, membangun aliansi dengan China, merangkul kembali negara-negara eks Soviet di Asia Tengah, mendekati negara-negara Arab dengan menjadikan Rusia sebagai pemantau Organisasi Konperensi Islam, serta mengaktifkan kembali persenjataan era perang dingin yang sempat dibekukan di jaman Yeltsin.

Sebagai seorang pemimpin, Putin tidak banyak bicara, berpembawaan dingin, tegas, tidak senang berwacana dan tahu persis apa yang ia ingin lakukan. Putin memang bukan malaikat, banyak kebijakannya yang dianggap kontroversial, termasuk didalamnya tidak memberi ruang terhadap tokoh-tokoh oposisi. Namun, ia tahu persis bahwa Rusia adalah bangsa yang besar, dan rakyat kebanyakan menghargai pemimpin yang mampu untuk membawa mereka kepada kemuliaan dan kejayaan. Pada tanggal 8 Mei 2008, Putin beralih peran dengan kadernya Dmitry Medvedev yang menggantikannya sebagai presiden. Putin menjalani babak barunya sebagai Perdana Menteri sekaligus ketua partai Rusia Bersatu yang memenangkan Pemilu secara mutlak. Dalam 8 tahun pemerintahannya yang singkat, Rusia kembali sebagai bangsa yang harus di perhitungkan oleh dunia. Ia berhasil membangun dan membangkitkan kembali kebanggaan nasional.

Kembali kita ke negeri di bawah katulistiwa, Indonesia namanya, yang pernah digadanggadang sebagai NIC (New Industrial Country) atau macan asia, negeri yang dipimpin oleh Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY (lahir 9 September 1949). Ia mewarisi negeri yang mungkin mirip dengan Rusia di masa Yeltsin. Pada tahun 2004 ketika ia memenangkan pemilu presiden pertama di Republik ini (60% berbanding 40% disbanding pesaingnya Megawati Soekarnoputri yang incumbent), banyak rakyat yang berharap kepada dirinya, rakyat yang jenuh dengan gonjang-ganjing reformasi. SBY adalah tipe orang yang jujur dan bersahaja, sebuah cerita klasik keberhasilan seorang anak yatim, - yang berasal dari desa dan berotak encer-, yang kemudian berhasil keluar dari kungkungan kemiskinan. Pernah menjadi guru, sebelum memutuskan masuk ke akademi militer. Ia adalah sosok seorang pekerja keras, pengabdiannya kepada bangsanya pun tidak diragukan lagi. Sebagai seorang pemimpin eksekutif (meski harus berbagi kekuasaan dengan legislatif, karena partainya adalah minoritas) SBY cukup menjanjikan. Ia mendeklarasikan perang melawan korupsi, berniat mengurangi angka kemiskinan dan mengembalikan keajaiban ekonomi seperti pada tahun 1990an.

Tetapi entahlah, apakah karena terlalu banyaknya bencana alam di negeri ini (tsunami, gempa, banjir, dsb), atau memang nasibnya yang ditakdirkan tidak menjadi ‘satrio piningit’, kesejahteraan yang diharap-harap tidak datang jua. Jangankan mengulang era bonanza minyak seperti tahun 1970an, lifting minyak Indonesia pun turun terus. Dari pengekspor menjadi pengimpor, Indonesia berwacana untuk keluar dari OPEC. Tiga kali (Maret 2005, Oktober 2005, Mei 2008) harga BBM harus dinaikkan. FDI yang dating pun berjalan tersendat, meski konon telah banyak promosi yang dilakukan oleh negara.

Jika Putin berhasil memenjarakan taipan Khodorkovsky, maka disini para pengemplang BLBI masih banyak yang hidup berfoya-foya di Singapura. Kekayaan mereka tidak tersentuh. Padahal lebih dari separuh hutang negara senilai $130 milyar adalah karena perbuatan jahat mereka. Hingga tahun keempat pemerintahan SBY, belum ada obligor kelas kakap di negara ini yang disita asset-assetnya untuk dikembalikan kepada negara.

Tidak semua gagal dilakukan oleh pemerintah SBY. Inflasi terkontrol, makro ekonomi mantap dan pertumbuhan ekonomi stabil (diseputaran 6%/tahun, terbaik setelah reformasi), suku bunga terjaga dan cadangan devisa meningkat diatas $50 milyar. Ekspor tertinggi sepanjang sejarah republik dicapai pada tahun 2007. Seperti Rusia dan negeri negeri Arab yang mendapat berkah minyak, harga komoditas tambang dan perkebunan mencapai ‘the golden age’-nya. IHSG di BEI menjadi yang terbaik kedua di Asia.

Namun itu saja belum cukup. Rakyat miskin masih banyak, golongan berpendapatan rendah resah. Kesenjangan ekonomi semakin melebar.

Hmm, saya hanya coba merenung (dan berspekulasi) apa jadinya, jika dulu SBY melakukan langkah-langkah radikal seperti yang dilakukan oleh Hugo Chavez di Venezuela, menasionalisasikan dan menegosiasikan ulang konsesi perusahaan-perusahaan minyak (dan pertambangan) asing. Tentunya kecaman akan datang, tetapi bukankah equilibrium akhirnya akan datang juga? Saat ini harga minyak di Venezuela adalah salah satu yang termurah di dunia. Jika itu terjadi, Pemerintah Indonesia tidak akan bersusah payah mengeluarkan obligasi SUN untuk menyelamatkan APBN. Tidak perlu pusing dengan subsidi BLT. Bukankah hak kita untuk menerima porsi kita?

Bukankah dulu Putin juga dikecam barat ketika ia memenjarakan Khodorkovsky (yang memiliki koneksi dengan barat)? Bukankah Chavez juga dikecam ketika melakukan tindakan nasionalisasi? Jika saja SBY dulu, menyeret para mafia yang mengambil keuntungan dari usaha impor minyak dari Singapura, cerita di panggung drama bias berbeda. Mungkin musuh-musuh politiknya di DPR akan bereaksi (karena mereka memiliki interest dengan dana-dana sumberdaya alam), mungkin dunia internasional pun akan bereaksi. Bisa jadi SBY terjungkal, tetapi bisa pula akan menjadi semakin kuat, seperti Putin di Rusia. Partainya yang tadinya kecil mungkin dalam lima tahun akan menjadi partai terbesar. Mungkin saja negara-negara barat bakal memusuhi, tetapi bukankah masih ada ‘poros’ lain? China, negara- negara Arab teluk serta Rusia. Kalkulasi politik SBY tentunya berbeda dengan saya, seorang rakyat biasa. Sekarang momentum sudah lewat bung, mungkin kita perlu menunggu 1-2 kali periode presiden lagi untuk sampai ke fase Rusia sekarang.

Bung Karno pernah berkata bangsa yang besar adalah bangsa yang memiliki karakter, dan bangsa ini memilikinya, kembali kita ke paparan awal, apa yang terjadi di stadion GBK atau Istora Senayan tempat pertandingan bulutangkis berlangsung, penonton yang fanatik selalu mendukung atlit Indonesia sambil berteriak In-do-ne-sia (dungdungdungdung-dungdung), meskipun akhirnya kalah. Hanya di istora, pertandingan bulutangkis yang paling bergemuruh di dunia. Hanya di GBK (dan mungkin Maracana di Rio) penontonnya paling bergairah. Memasukkan 1 gol ke gawang lawan kita sambut seolah kita telah memenangkan gelar piala dunia, meskipun pada akhirnya lawan mampu membalas dengan menyarangkan 5 gol ke gawang kita. Semangat ada di bangsa ini. Kebanggaan dan perasaan bersatu sebagai bangsa pun belum luntur. Kita punya modal sejarah yang kuat dan panjang sebagai bangsa yang pernah berjaya. Rusia telah membuktikannya, tanpa perlu membuat seremoni berlebihan, yang sampai merusak lapangan rumput di stadion Luzhniki kebanggaan mereka. Majulah negeriku, semoga Tuhan memberkati kita semua.

Ridzki R. Sigit (rrsigit@gmail.com); pekerja kreatif, produser film dokumenter lingkungan; tinggal di Bogor, rakyat biasa, orang bebas, tidak berafiliasi dengan partai politik manapun.

"Berdaulat secara Politik, Mandiri secara Ekonomi, dan Bermartabat secara Budaya"

5 komentar:

Anonim | Sabtu, Desember 20, 2014 11:03:00 PM

Bikin sakit mata tulisannya

Unknown | Kamis, November 12, 2015 12:03:00 PM

sangat berkesan... takjub saya benar

Unknown | Selasa, Januari 05, 2016 8:09:00 PM

artikel terbaik saudaraku.

Unknown | Jumat, Agustus 05, 2016 11:27:00 AM

Mantao bung artikelnya (y)

Unknown | Kamis, September 15, 2016 5:35:00 PM

Ini artikel luar biasa lho..
dahi sampai mengerinyit.

Indonesia, wajahmu kini ...

Posting Komentar

Logo Telapak