Dusun Mendiro, Memelihara Hutan dan Mata air Brantas

“Cak, saiki Ecoton gak cuma ngurusi daerah hilir Brantas thok lho! Kita sudah molai
main ke hulu untuk menyelamatkan mata air Brantas. Lek sampeyan gak percoyo,
ayoo kita ke daerah Wonosalam di Kabupaten nJombang. Sampeyan bisa ndelok
dhewe masyarakat Dusun Mendiro yang mengelola hutan dan menjaga mata air.
Lek sampeyan mau cari sejarahnya ... itu kabeh hubungannya sama Mojopahit,
karena buanyak situs dan tinggalan kerajaan di sekitar situ. Lokasine deket sama
Trowulan, bekas pusat kerajaan Mojopahit. Terus di sana itu daerah duren sing
terkenal wiwit mbiyen, duren Wonosalam. Pokoke uapiiik temen Cak, cocok
kanggone sampeyan”.


Kata‐kata provokasi tersebut masih terngiang dalam benak, sebelum akhirnya sayapun memutuskan untuk menerima tantangan tersebut. Adalah Prigi, Amir dan Daru yang terus memprovokasi saya untuk berkunjung ke Wonosalam. Singkatnya, agenda perjalanan saya ke Surabaya (menghadiri sidang I TKPSDA Brantas) pun jadi bertambah dengan adanya Wonosalam.
Beberapa saat kemudian, saya pun sudah menggenggam kemudi Avanza ditemani oleh Amir, menembus 2 jam perjalanan malam dari Surabaya ke Wonosalam. Selama perjalanan pikiran saya terus tertuju pada cerita ketiga teman dari Ecoton tersebut. Jika cerita ini memang benar maka Program Air/Sungai dan Program Hutan Telapak jadi semakin jelas singgungannya. Padahal saya merasa sangat lelah dan mengantuk karena telah memulai hidup sejak pagi buta saat berangkat dari rumah saya di Bogor. Pikiran akan singgungan kedua program tersebut seakan jadi obat kantuk dan lelah. Begitu memasuki wilayah Kecamatan Wonosalam, Amir segera meminta saya mengarahkan kemudi menuju sebuah dusun terujung di Desa Panglungan. Akhirnya kami berhenti di depan rumah Pak Polo (julukan setempat untuk Kepala Dusun).Kami disambut oleh setidaknya enam orang termasuk Pak Polo yang bernama asli Wagisan. Dan dimulailah seluruh cerita hebat ini, di atas baliho plastik yg dijadikan alas karena lantai rumahnya masih berupa tanah.
Begitu memasuki wilayah Kecamatan Wonosalam, Amir segera meminta saya mengarahkan kemudi menuju sebuah dusun terujung di Desa Panglungan. Akhirnya kami berhenti di depan rumah Pak Polo (julukan setempat untuk Kepala Dusun). Kami disambut oleh setidaknya enam orang termasuk Pak Polo yang bernama asli Wagisan. Dan dimulailah seluruh cerita hebat ini, di atas baliho plastik yg dijadikan alas karena lantai rumahnya masih berupa tanah.
Pak Wagisan dan teman2nya pun bercerita panjang lebar tentang apa yang telah mereka lakukan. Sebuah kisah panjang yang berawal dari 10 tahun yang lalu. Kisahnya juga dibumbui oleh pengalaman bersitegang dengan aparat Perhutani setempat yang menuduh warga setempat telah merusak hutan. Warga kesal dengan tuduhan itu karena mereka sendiri yakin bahwa oknum petugas Perhutani lah yang sebenarnya merusak kawasan hutan lindung tersebut. Kerusakan hutan tersebut justru akhirnya diperbaiki oleh warga Dusun Mendiro.
Cerita malam hari yang penuh semangat itu akhirnya harus kami sudahi karena malam semakin larut dan kondisi badan sudah teramat lelah. Kami berjanji keesokan harinya akan datang lagi untuk melihat kawasan yang telah dihutankan kembali itu.
Kejutan di pagi hari
Pagi hari saya dikejutkan oleh suara‐suara orang yang bercakap dan bergurau di balik dinding tipis gudang tempat saya tidur. Sejak tadi malam saya dan Amir memang tidur di sebuah gudang peralatan di kompleks Padepokan Wonosalam Lestari.Seperti namanya, padepokan ini adalah sebuah tempat pelatihan dan belajar mengenai alam dan lingkungan yang dikelola bersama oleh Ecoton dan warga setempat. Ketika saya menengok ke luar ternyata suara‐suara itu adalah Amir dan warga setempat yang sedang bercakap dengan selingan humor ringan khas Jawa Timuran.
“Ayo Cak ... sarapan! Iki awake dhewe dike’i duren. Ayo sikat ae Cak!”, sambut Amir ketika melihat saya muncul dari kamar. Sebagai orang baru di daerah ini, tentunya saya merasa sungkan. Setelah bersalaman dan memperkenalkan diri saya, akhirnya saya pun segera membenamkan jari pada buah durian tersebut. “Sayang saiki bukan musim duren Cak. Waktune kurang tepat. Jadi sing ono ae sing disikat. Iki duren montong, dudu duren Wonosalam”, kata Amir menjelaskan. Bagi saya nama depannya tetap sama ... durian, jadi ya jelas makan saja.

Selepas makan durian, kami pun segera sarapan menu kedua. Amir yang bangun lebih awal ternyata sudah membeli sarapan khas Wonosalam, yaitu sego pokpok. Ini adalah nasi dengan campuran jagung tumbuk ditambah sayur lodeh tempe, sayur potongan batang talas, dan peyek kedelai yang renyah. Soal rasa tak perlu diragukan. Bagi saya rasanya nikmat dan mengenyangkan. Seumur hidup baru sekali ini saya makan jenis masakan ini.
Usai sarapan, saya menemukan sebuah aktivitas menarik. Ternyata para warga sedang menyiapkan papan untuk bahan bangunan. Ketika saya tanya,ternyata papan kayu tersebut berasal dari jenis pohon durian. Di tepi jalan sebuah mesin gergaji sedang beroperasi memotong dan membelah kayu bulat durian menjadi papan. Segera saya berlari mengambil kamera dan sebentar kemudian memotret aktivitas penggergajian tersebut.
Mesin gergaji yang digunakan terlihat unik. Mesin gergaji digerakkan oleh generator dan diletakkan pada sebuah rangka kendaraan roda empat. Dengan demikian ia dengan mudah dapat dipindahkan ke tempat yang jauh tanpa harus diangkut. Seperti sebuah mobil hybrid, bukan dalam sumber bahan bakar namun dalam fungsi.
Tak banyak orang yang bekerja dalam proses pembuatan papan‐papan kayu ini. Saya melihat hanya enam orang yang bekerja. Empat orang bekerja memotong dan membelah kayu. Dua orang lagi membantu menyiapkan kayu yang akan dibelah serta memindahkan papan‐papan yang telah jadi. Amir mengatakan bahwa kayu-kayu ini diproses dengan biaya yang cukup murah. Biaya proses sebatang pohon durian hingga menghasilkan sekitar 6 kubik papan hanya sebesar Rp 300,000.
Membuktikan kearifan dan inisiatif lokal
Setelah berpuas diri dengan keasyikan memperhatikan proses penggergajian, saya dan Amir kembali ke Dusun Mendiro.Perjalanan kali ini sedikit berbeda dengan tadi malam. Gelap gulita sepanjang jalan tadi malam berganti dengan pemandangan kebun‐kebun hutan yang menghijau dan teduh. Sementara itu di kejauhan terlihat Gunung Anjasmoro (2.277 m dpl) yang hijau dan indah. Menjelang Mendiro, kami sempat berhenti sejenak di tepi sawah dan kebun sengon masyarakat. Amir menunjukkan lokasi sebuah hutan alam kecil seluas lebih kurang 6 hektar yang berada di tengah‐tengah desa. Menurut Amir hutan tersebut sengaja dilindungi turun‐temurun oleh warga setempat karena mereka ingin mempertahankan mata air di sana. Sayang saya tidak sempat melihat dari dekat lokasi tersebut. Saya hanya melihat tajuk‐tajuk pohon besar yang tampak jelas di ujung sawah di hadapan saya. Dari bentuk dan susunan tajuknya terlihat jelas bahwa komposisi jenis pohon di hutan kecil itu sangat beragam.
Tiba di Mendiro, kami disambut oleh Pak Asmat yang segera menemani kami melihat kawasan hutan yang dikelola warga setempat. Kami melintasi kebun‐kebun di tanah milik warga Mendiro. Kebun‐kebun ini sama sekali tidak terlihat seperti umumnya sebuah kebun dengan satu jenis tanaman. Kebun warga Mendiro berisikan beragam jenis tanaman palawija yang dipadu dengan pohon‐pohon kemiri, mahoni dan sengon yang rimbun. Bentuknya mirip dengan konsep kebun “talun” yang dikenal di daerah Sunda (Jawa Barat). Atau juga mirip kebun yang dikelola masyarakat adat Dayak “tembawakng” di Kalimantan Barat dan “Simpukng” di Kalimantan Timur.
Meninggalkan kawasan lahan milik, kami memasuki kawasan yg secara hukum dikelola oleh KPH Carang Wulung, Perum Perhutani Unit II Jawa Timur. Inilah tempat yang diceritakan panjang lebar oleh Pak Wagisan malam tadi. Warga Mendiro telah menanami puluhan hektar kawasan hutan tersebut dengan berbagai jenis pohon. Inisiatif ini dilakukan secara mandiri tanpa bantuan dari siapa pun, bahkan dari pihak Perhutani sendiri. Hal ini dilakukan hanya berkat dorongan pesan para orang tua mereka untuk melestarikan mata air yang ada di sana. Walhasil upaya mandiri tersebut akhirnya berbuah sangat manis. Sepuluh tahun setelah upaya penanaman tersebut kini warga menikmati hasilnya. Dua buah mata air yang tadinya kering kini muncul kembali. Bahkan air yang keluar cukup melimpah dan belum pernah kering sekalipun di musim kemarau. Saya sempat mengunjungi salah satu mata air itu. Warga setempat memberi nama mata air itu dengan sebutan “kendil wesi”.
Di bawah naungan sebuah bangunan kecil di tepi kendil wesi, saya menyempatkan diri untuk bertanya lebih jauh tentang inisiatif warga Mendiro ini pada Pak Asmat dan mencatatnya. Berikut ini adalah beberapa hal menarik dari catatan saya tersebut:
• Berpuluh tahun yang lalu kawasan hutan ini adalah kawasan pemukiman masyarakat setempat, sebelum akhirnya pindah ke lokasi pemukiman saat ini. Tidak diketahui pasti penyebab kepindahan ini, kecuali karena warga Mendiro diminta mendekat ke ibukota desa oleh Kepala Desa saat itu.
• Kawasan hutan ini berada tepat di bagian atas lembah sungai curam di kaki kawasan pegunungan yang masih berupa hutan alam. Dari posisi geografisnya, kawasan ini berada dekat dengan perbatasan Kabupaten Mojokerto dan Kabupaten Malang. Aliran sungai terdekat dari kawasan hutan ini adalah Sungai Boro, salah satu anak sungai di daerah aliran Sungai Brantas. Kawasan ini juga berbatasan dengan sebuah kawasan konservasi,yaitu Taman Hutan Raya (tahura) R. Soeryo.
• Pengelola kawasan hutan ini adalah sebuah kelompok LMDH (Lembaga Masyarakat Desa Hutan) yang tadinya dibentuk oleh Perum Perhutani. Sejak terjadinya konflik dengan pihak Perhutani kini kelompok tersebut memisahkan diri dan selanjutnya didampingi langsung oleh Ecoton. Kelompok tersebut kini bernama KEPUH (Kelompok Masyarakat Pelindung Hutan. Terdapat lebih dari 20 jenis pohon yang ditanam di kawasan hutan ini. Dari jenis‐jenis tersebut Kemiri (Aleurites moluccana) adalah jenis pohon utama di sini, yang kemudian diikuti oleh Durian (Durio zibethinus) dan Kopi (Coffea sp.). Menurut warga setempat ketiganya menghasilkan keuntungan ekonomi yang jelas sehingga menjadi produk andalan Dusun Mendiro. Durian adalah hasil dari wilayah Wonosalam yang telah dikenal sejak dahulu. Di kawasan ini warga setempat menanam 5 varietas, yaitu 1) Duren Goblek, 2) Duren Gerejo,3) Duren Gondil, 4) Duren Payung, dan 5) Duren Abang.
• Khusus untuk pengelolaan Kemiri, masyarakat setempat menetapkan adanya aturan pemanenan khusus. Buah Kemiri yang telah masak dilarang untuk dipetik langsung dari pohonnya. Masyarakat hanya diperbolehkan untuk memungut buah‐buah Kemiri yang telah jatuh ke tanah. Aturan pengelolaan ini ditetapkan oleh Kepala Dusun.

• Karena berbatasan dengan hutan alam serta upaya rehabilitasi yang dilakukan warga, kawasan ini masih mendukung kehidupan beragam jenis satwaliar. Berdasarkan penuturan Pak Asmat, di sini masih terdapat jenis-jenis satwaliar yang jarang dijumpai di tempat lain di Jawa, seperti Macan Kumbang/Tutul (Panthera pardus), Monyet Ekor Panjang atau bedhes (Macaca fascicularis), Lutung Jawa atau budeng (Trachypithecus auratus), Kijang atau kidang (Muntiacus muntjak), Kancil (Tragulus javanicus), Babi Hutan atau celeng (Sus scrofa), Bajing Raksasa atau jelarang (Ratufa bicolor), Bajing Terbang atau walang kopo (?), Burung Rangkong atau rangkok(Bucerotidae), Ayam Hutan Merah (Gallus gallus), Ayam Hutan Hijau atau bekikuk (Gallus varius), serta beragam jenis ikan air tawar yang dapat dijumpai di Sungai Boro. Saya sendiri sempat menjumpai setidaknya dua jenis burung elang yang terbang di atas kawasan hutan ini, yaitu Elang Hitam (Ictinaetus malayanus) dan Elang Ular atau bido (Spilornis cheela).
Dengan catatan dan pengalaman tersebut, rasanya saya ingin berlama‐lama di sini dan menjelajah di kawasan hutan serta kebun masyarakat. Kearifan dan inisiatif lokal warga setempat yang saat ini sangat jarang dijumpai di Pulau Jawa ternyata bisa ditemukan juga di Wonosalam. Namun keinginan menambah hari tak mungkin saya penuhi. Saya harus segera kembali ke Bogor.
Akhirnya, saya pun bergegas pulang dengan sebuah janji. Janji pada diri sendiri untuk mengabarkan cerita ini pada teman‐teman di Telapak. Wonosalam adalah tempat yang sesuai jika Telapak ingin membangun sinergi program air dan hutan. Dan inisiatif warga Dusun Mendiro ini patut dipromosikan sebagai bukti kemampuan masyarakat lokal dalam mengelola hutan secara berkeadilan.

1 komentar:

jun | Selasa, September 27, 2011 7:07:00 AM

wah, ada lagi yang menapakkan jejak mengikuti jejak Wallace di Wonosalam, kampong sweet kampong :)

Salam,
http://pencangkul.blogspot.com

Posting Komentar

Logo Telapak