Sepotong Cerita dari Sebuah Perjalanan Melelahkan ketika Mengikuti Writing Workshop...

Kalau aku menceritakan tentang bagaimana writing workshop itu dilakukan, aku kira sangat sedikit yang tertarik mendengarkannya. Sama hal dengan diriku, ketika membayangkan aku diminta untuk mengikuti acara tersebut. Pasti menjadi hari-hari yang melelahkan....!!. Syukurlah…ternyata aku masih beruntung, masih punya kesempatan menikmati suatu kunjungan yang membuat perjalananku tidak terlalu monoton, terbelenggu dengan mencari kalimat yang pas dalam mengisi dan melengkapi sebuah “Guideline for the Negotiated Approach”.

Pada hari ketiga workshop, kawan-kawan Gomukh-India, yang merupakan host acara workshop ini, mengajak para peserta (4 orang Belanda, 3 orang Kosta Rica, 1 orang Peru, 1 orang Brazil dan 1 orang Batak) untuk mengunjungi sebuah lokasi dampingan dimana mereka bekerja. Cukup jauh memang, masih memerlukan sekitar 4 jam perjalanan dengan menggunakan mobil dari kota kecil Kolhapur, dimana workshop berlangsung.

Kunjungan pertama adalah melihat dan mendengarkan sejarah berdirinya dam (bendungan) dan danau buatan yang mengelilingi di desa Chikutra, dengan biaya pembangunan dari pemerintah. Yang menarik sebagai sebuah gerakan adalah perjuangan masyarakat lokal/adat untuk mendapatkan pengakuan sebagai salah satu stakeholder dalam mengelola dan memanfaatkan akan kehadiran dam dan danau buatan tersebut. Harus diakui bahwa air merupakan kebutuhan dasar yang sangat diperlukan oleh masyarakat setempat. Mereka pada umumnya adalah petani yang keberhasilan budidaya-nya sangat tergantung atas ketersedian air, apalagi ditambah dengan kondisi iklim di India yang kurang bersahabat dalam menyediakan air.

Diawali dengan inisiatif dari seorang tokoh masyarakat, yang melihat keberadaan dam ini akan berimplikasi pada kehidupan penduduk. Dia mengajak dan menggerakkan para petani, dan memulainya dengan membentuk forum-forum di tingkat desa. Dan sekarang forum-forum tersebut sudah terbentuk pada setiap desa. Dari setiap forum akan mengirimkan 2 wakilnya yang telah mendapatkan legitimasi dari penduduk desa yang memilihnya untuk duduk di sebuah komite yang merupakan wadah bagi masyarakat untuk beraspirasi dan mengkonsolidasikan gagasan-gagasan mereka. Saat ini keberadaan dan eksistensi komite cukup diperhitungkan dan telah menjadi sebuah kekuatan (main of stakeholder) yang dapat mempengaruhi keberlangsungan dam, termasuk dalam urusan pendistribusian air.

Setelah itu, kami diajak berkunjung ke desa yang penduduknya sangat welcome (malah pakai acara ngasih-ngasih bunga dan ‘tanda’ di jidat) atas kunjungan kami. Sorenya dilanjutkan kunjungan ke rumah salah tokoh masyarakat untuk berdialog dengan para anggota komite. Menarik….apalagi bagiku sebagai seorang “new comer” di dalam urusan air, banyak pembelajaran baru yang aku dapatkan. Yang mungkin saja akan bermanfaat juga buat Telapak atau bagi pengelolaan sumber daya air di Indonesia.

Di hari kelima sebelum kami pulang ke Pune (kota dimana Gomukh berada), kami menyempatkan diri untuk melakukan kunjungan lapangan lagi. Kali ini, kami mengunjungi satu desa kecil (Kolwan) yang mempertahankan keutuhan hutan desa mereka karena merupakan sumber penyimpan air bagi masyarakat desa. Mereka juga mensakralkan sebuah lokasi yang mereka sebut sebagai “secret grove”. Aku kira apaan…ternyata sebuah hutan kecil yang menjadi tempat serapan dan cadangan air, yang keberadaannya tidak boleh diganggu oleh aktifitas manusia. “Kalo ini mah banyak di negaraku..kami menyebutnya sebagai hutan keramat” kataku. Lucu dan miris juga melihatnya. Lucu karena kawasan berpohon yang luasnya tidak besar (mungkin lebih cocok dengan kawasan semak belukar) dikatakan hutan, miris karena kita punya banyak tetapi tidak pernah terkomunikasikan ke dunia luar dan keadaannya juga kurang diurus oleh negara.

Dengan berkaca dari pengalaman singkat di atas, maka pertanyaan yang masih tertinggal adalah apakah Telapak bisa melakukan hal yang sama…? Walaupun dengan kesadaran bahwa itu tidak gampang untuk dilakukannya di Indonesia, apalagi dengan mempertimbangkan keuntungan yang dimiliki Gomukh dengan adanya kondisi social – budaya di India yang mendukung gerakan atas air tersebut. Di India masih sangat kental hubungannya antara air dan budaya yang mereka miliki, dikenal dengan istilah Lakes are Eternal (a symbol of life). Kalau boleh aku mereka-reka, maka aku melihat ada beberapa faktor yang menjadikan gerakan air di sana bisa dikatakan cukup berhasil:

  • Adanya kepemimpinan di tingkat lokal yang menjadi motivator gerakan (local leader). Artinya bukan hasil tempahan dari intervensi NGO yang datang, tetapi memang dari sononya sudah ada potensi itu. Sehingga kita (NGO) hanya akan berperan untuk proses penguatannya saja. Dan sebaliknya, bukan pula berarti bahwa proses tempahan tidak akan berhasil, hanya saja dibutuh energi tambahan, sedangkan tingkat keberhasilannya agak susah ditentukan.
  • Adanya common interest dan common problems (kesamaan kepentingan dan masalah) di tengah-tengah masyarakat, karena ini akan menjadi perekat ampuh dalam menggalang solidaritas di antara mereka.
  • Adanya sistem social dan budaya yang masih berakar kuat pada kehidupan orang-orang India atas pentingnya air bagi keberlagsungan hidup mereka. Konteks ini memang tidak telepas dari fakta bahwa kondisi alam yang kurang bersahabat dalam menyediakan air, relatif jauh berbeda dari yang dimiliki Indonesia.
  • Adanya keberadaan NGO yang tinggal bersama dengan masyakakat, yang membuat interaksi dan ikatan sosial diantara mereka terjalin dengan erat.
Bagaimana dengan Telapak sendiri yang sedang gencar-gencarnya ’mau’ membangun gerakan di isu air, mampukah kita? sudah sampai titik manakah kita sekarang?? Mari kita lihat dan cek secara bersama-sama. Aku yakin Telapak bisa bermain di beberapa level kegiatan dengan peran yang berbeda pula. Untuk itu, ada beberapa hal mungkin saja berguna bagi rencana strategis Telapak ke depan pada isu sumber daya air:
  • Membangun aliansi dengan pihak-pihak/jaringan (lebih luas) yang memiliki konsern yang sama bahwa air merupakan hak dasar bagi setiap penduduk indonesia, walaupun saat ini telah/sedang dilakukan Telapak. Tapi menurutku yang mungkin perlu disusun adalah bagaimana mengkonseptualkan ”air sebagai basic right”, sehingga akan menjadi panduan bagi kerja-kerja telapak di masa akan datang.
  • Membangun aksi atas ’common interest’ dengan konstituen Telapak, salah satu kegiatan yang ditawarkan adalah melakukan pemetaan dan pendokumentasian terhadap ‘secret grove’ atau hutan keramat yang biasanya berfungsi sebagai sumber air bagi masyarakat adat, di samping menjadi tempat yang disakralkan karena memiliki hubungan erat dengan keyakinan mereka. Selain dapat digunakan sebagai bahan kampanye, tahapan dalam kegiatan ini bisa menjadi sebuah proses membangun ikatan sosial dengan masyarakat adat. Syukur2 mendapatkan legitimasi atas perjuangan telapak di dalam isu air. Rencana ini bisa disinergiskan dengan usulan beberapa kawan di Telapak untuk melakukan pendokumentasian pada ”sumber mata air”, yang juga erat hubungan dengan masyakat lokal/adat yang tinggal di sekitar hutan.
  • Membangun aksi atas ’common problems’ dengan konsituen Telapak akan terjadinya krisis air (bersih) di Indonesia, dengan tawaran melakukan pemotretan tentang kondisi kerusakan DAS beserta ekosistem hutannya di Indonesia. Hal lain yang bisa dilakukan adalah dengan melakukan aksi-aksi lokal yang dapat berdampak pada perubahan pola pikir masyarakat (terutama masyarakat urban) akan pentingnya menjaga kebersihan sungai. Bila tidak, maka bisa berakibat fatal bagi masyarakat lainnya. Kegiatan ini sedang dilakukan oleh Telapak, melalui keterlibatnya di Komunitas Peduli Ciliwung dan mungkin saja di kemudian hari pada komunitas-komunitas peduli lainnya.
  • Memainkan peran sebagai fasilitator dan dinamisator dalam membentuk dewan-dewan air di tingkat propinsi maupun kabupaten, sebagai salah satu wadah untuk membawa suara (kepentingan) masyarakat sipil. Karena pengalaman mengawal proses pembentukan dewan air di kabupaten Luwu (disebut Komite DAS Lamasi), bahwa masyarakat sipil bisa memiliki peran penting dalam menentukan arah dan komposisi keanggotaan di komite tersebut. Kondisi ini jauh berbeda ketika Telapak diminta menjadi anggota dewan air di tingkat nasional. Dengan harapan, bila sekarang dianggap keberadaan Telapak di dewan air ’kurang berbunyi’, maka dengan dukungan dan keberadaan kawan2 masyarakat sipil di dewan air propinsi/kabupaten bisa memberikan warna yang berbeda., untuk menyuarakan kepentingan yang sama dalam konteks pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya air di Indonesia.
Setelah melewati 7(tujuh) hari berkunjung di kampung orang, akhirnya aku pulang juga ke negara tercinta ini. Ketemu lagi dengan kehidupanku, ketemu dengan kawan2 ku, dan yang terindah adalah ketemu sama bojo dan jagoanku. Walaupun kantong udah bokek karena beli oleh-oleh dan ditunggu seseorang untuk menyelesaikan laporan kegiatan dan keuangan


....




Penulis:
Christian Bob Purba
BPP Perkumpulan Telapak
bob@telapak.org


Berdaulat secara Politik, Mandiri secara Ekonomi , Bermartabat secara Budaya

1 komentar:

Moes Jum | Sabtu, November 21, 2009 10:21:00 PM

Mantebhh dan top markotop Pak Bob ini memang ... dalam suasana bingung dan kaget dia bisa mengambil hal2 penting buat jadi insipirasi kita orang Indonesia dalam penyelamatan air.

It's very inspiring story Pak Bob!!

Posting Komentar

Logo Telapak