Tak sengaja ...

Siapa sangka kejadian ini bakal terjadi. Siapa juga yang mengira saya bakal presentasi di depan puluhan perwakilan masyarakat adat seantero Tanah Papua. Saya sungguh tak siap sebenarnya … Tapi mau bagaimana, lha wong kejadiannya ternyata memang begitu. Presentasi dadakan ternyata bisa jadi sebuah pompa raksasa bagi kesadaran masyarakat adat … minimal saat itu.

Saya datang dengan muka kuyu karena mengantuk dan lelah. Betapa tidak, sehari sebelumnya saya sudah lelah berputar-putar mencari jejak di sebuah kota di Sulawesi. Pagi berangkat, pulang menjelang tengah malam. Belum sempat beristirahat dengan nyaman, dini harinya langsung terbang ke Papua. Praktis tidur hanya di bangku pesawat selama kurang dari 4 jam dan beberapa menit selanjutnya dalam taksi bandara menuju tempat pertemuan keesokan paginya.

Pertemuan ini ternyata bukan sekedar lokakarya atau pertemuan biasa. Ini ternyata sebuah kongres besar yang dirancang dihadiri oleh ratusan orang. Ini adalah Kongres I Selamatkan Manusia dan Hutan Papua, yang diselenggarakan pada tanggal 19-21 November 2009 di Jayapura. Tempat berkumpulnya ratusan orang dari berbagai pelosok Tanah Papua. Ditambah lagi dengan kelompok2 LSM yang mendukung kemandirian masyarakat adat Papua. Semua berkumpul demi tercapainya cita-cita penyelamatan “orang Papua” beserta hutan yang dianggap sebagai “mama”. Orang Papua dan hutan Papua memang sampai kini masih dalam kondisi yang memprihatinkan. Ribuan masyarakat adat termarginalkan, sementara hutan-hutan luas yang jadi tempat hidupnya mulai tergerus oleh perusahaan kayu, kebun sawit, dan pertambangan.

Kembali lagi pada saya … saya yang kelelahan dan masih berusaha keras untuk tetap terjaga (walau seringkali jatuh tertidur). Saya hampir tak mampu berkonsentrasi saat itu. Ketika saya datang, panitia langsung meminta saya untuk bersiap memberikan presentasi. Arrrrghhh …. Saya belum sempat membuatnya!!! Dengan wajah memelas saya meminta waktu beberapa jam untuk menyiapkan presentasi tersebut. Syukurlah akhirnya sang panitia merasa iba (mungkin) dan memberi keleluasaan waktu bagi saya. Segera saya raih komputer jinjing yang berat saya. Ketik sana – ketik sini, mencoba berpikir sedikit namun selalu gagal. Bismillahirohmannirrohiim … saya coba konsentrasi membuat presentasi itu. Akhirnya, dengan sisa energi di tubuh saya, selesai lahh presentasi itu. Alhamdulillaah!!

Tibalah giliran saya ….

“Selamat siang saudara-saudara. Salam sejahtera. Assalamu ‘alaikum wr. wb. Mohon maaf sebelumnya karena presentasi saya mungkin tidak banyak. Saya hanya akan mempresentasikan hal-hal yang kami baru saja temui menyangkut perluasan kebun (terutama sawit) di Papua. Kami telah merilis laporannya sepuluh hari yang lalu di Jakarta. Laporannya berjudul “Up for Grabs”, namun maaf kami belum sempat mencetak versi Bahasa Indonesia-nya. Baiklah … untuk acara ini, saya sesuaikan judulnya menjadi Kebun Sawit Menggusur Tanah Papua"
Saya berusaha menjelaskan presentasi saya (tanpa mengantuk). Sebenarnya gak banyak sih … saya hanya menyiapkan 9 buah slide. Tak disangka ternyata kesembilan slide tersebut mendapat perhatian serius dari para peserta kongres. Hmmm … awal yang lumayan pikir saya. Saya mulai bersemangat, dan akhirnya saya pun menampilkan sebuah video dengan judul yang sama dengan laporan Telapak/EIA, yaitu “Up for Grabs”. Jeng jeeennggggg ….

Gambar demi gambar dipancarkan, testimoni para korban perluasan sawit di Papua pun ditunjukkan. Tak lupa juga aktivitas alat berat yang meratakan hutan-hutan di daerah Sorong dan Salawati. Memang ini video sangat vulgar menunjukkan kehancuran. Tapi ini sebuah kejujuran, karena kesedihan, kekecewaan dan kehancuran adalah sesuatu yang sulit untuk ditutup-tutupi. Ternyata menit demi menit yang dilalui video tersebut telah memancing banyak komentar penonton di sela-selanya. Mereka berteriak, bergumam, berdecak, namun tak ada yang tertawa. Bahkan ada seorang peserta kongres yang selalu mengumpat “anjing” … setiap kali ia melihat gambar dan mendengar pengakuan saudara-saudara Papuanya yang menjadi korban.

Akhirnya video selesai ditayangkan. Namun para peserta kongres tampak berkerut2 wajahnya. Mereka seperti berusaha menahan emosi yang siap meledak. Begitu moderator mempersilakan mereka menanggapi … maka mereka pun meledak emosinya. “Waduuh … gawat ini!” pikir saya. Saya bingung dan tidak tega dengan kejadian ini. Tak disangka emosi para peserta yang sebagian besar perwakilan masyarakat adat Papua begitu besar dan meledak-ledak. Rupanya mereka merasa geram dengan hal-hal yang ditayangkan. Mereka ingin segera menyudahi penindasan dan eksploitasi hutan di Papua. Video itu dianggap sebagai sebuah contoh nyata yang saat ini sedang terjadi di Papua. Contoh nyata betapa orang Papua telah ditipu mentah2, dipinggirkan dan tidak dianggap sama sekali. Contoh nyata bahwa hutan yang mereka anggap “mama” telah dihancurkan begitu saja oleh perusahaan kelapa sawit.

Saya … yang sebenarnya tak sengaja hanya bisa tertegun. Saya tidak ingin membuat masyarakat adat Papua menjadi marah seperti ini. Saya khawatir kemarahan mereka justru bisa jadi penyebab kehancuran. Saya khawatir karena mereka telah bertahun2 mengalami ancaman dituduh sebagai bagian dari OPM atau anti-pembangunan. Tapi saya juga kasihan dan ingin membantu mereka. Sehingga wajar juga rasanya jika mereka jadi emosi seperti ini. Ahhh …. Saya tak tahu lagi. Mungkin kejadian ini memang sudah direncanakan oleh Allah swt. Untuk mengingatkan semua orang bahwa kezaliman di Papua harus segera diakhiri. Saya dan Telapak mungkin hanya perantara untuk memompa semangat masyarakat adat Papua bangkit dari ketertindasan. Semoga …..

2 komentar:

Retty Hakim (a.k.a. Maria Margaretta Vivijanti) | Selasa, Juni 15, 2010 4:20:00 AM

Terima kasih sudah berbagi kisah. Tanpa kisah seperti ini memang sulit bagi orang yang belum pernah ke Papua untuk membayangkan keadaan di sana. Semoga kisah ini bisa memberi pencerahan bagi para wakil rakyat dan pemerintah untuk melihat melalui mata warga lokal.

olive | Kamis, Juli 01, 2010 7:27:00 AM

kisah yang sangat menarik...semoga merupakan langkah menuju perubahan yang lebih baik..

Posting Komentar

Logo Telapak