Negara Demokrasi atau Negara Korporatokrasi

Kawan-kawan pen-Telapak,

Artikel ini memang menarik dan mampu menunjukkan bahwa sertifikasi “hijau” ini memang instrument pasar yang dibangun dari kecenderungan konsumen yang peduli issu lingkungan. Kalau sebelumnya proteksionisme dibangun atas dasar “kedaulatan Negara” maka proteksionisme sudah jauh berubah, karena dasarnya adalah aspirasi konsumen! Kepemimpinan Negara secara perlahan tapi pasti sudah “dikudeta” oleh kepemimpinan pasar global yang dipandu/diarahkan/dikendalikan oleh WTO dan ditopang oleh lembaga-lembaga kuangan internasional. Mereka inilah, diperkuat dengan LSM-LSM internasional (yang dapat uang dari para pelaku pasar global), yang terus menerus menangkap, menerjemahkan (menginterpresikan) dan menggaungkan aspirasi konsumen global.

Di tengah-tengah kepemimpinan pasar global yang dikendalikan Negara-negara Industri penghisap dan terus mengeruk kekayaan Negara-negara berkembang ini, dimana kah Indonesia berada, di manakah LSM nasional seperti Perkumpulan Telapak, dimana ORMAS seperti AMAN? Negara-negara berkembang kehilangan vitalitasnya sebagai Negara. Negara-negara ini berubah dari Negara demokrasi yang dicita-citakan menjadi Negara Korporatokrasi.

Coba simak cerita Kompas hari ini terkait rencana Yayasan BOS yang mau mengelola sebagian areal konsesi yang saat ini ijin usahanya dipegang oleh 2 perusahaan HPH sebagai lokasi pelepasliaran orang utan. Di berita ini disebutkan bahwa Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan setuju dan sangat mendukung rencana ini tapi tidak bisa berbuat apa-apa kecuali berharap kemurahan hati dari 2 perusahaan ini untuk mengijinkan sebagian alreal hutannya dibolehkan menjadi areal pelepasliaran orang utan.

Pengalaman yang sama juga pernah terjadi dengan MS Kaban ketika menjadi Menteri Kehutanan berkunjung ke Sungai Utik untuk menyerahkan sertifikat SFM LEI ke Masyarakat Adat. Dia berjanji untuk memberikan pengakuan hukum untuk hutan adat Sungai Utik yang sudah masuk di areal konsesi HPH. Apa daya…sampai turun dari kursi Menhut dan digantikan dengan Menhut yang baru, pengakuan hukum tidak terjadi. Menteri Kehutanan tidak berkutik dengan perusahaan HPH yang sudah memegang ijin konsesi! Inilah Negara korporatokrasi yang saya maksudkan! Negara takut pada korporasi, bukan takut pada rakyat yang seharusnya dilindungi sesuai amanat konstitusi.

Kalau dalam situasi demikian kita mau bicara tentang Perkumpulan Telapak, apakah memang masih relevan? Apakah memang Telapak sebagai organisasi gerakan untuk keadilan social-ekologis masih layak dan relevan untuk mengambil kepemimpinan? Membangun kemandirian? Prakarsa kemandirian apa saja yang sudah kita tularkan di kalangan rakyat Indonesia? Gerakan comlog? Gerakan comfish? Gerakan koperasi? Dimana kah semua itu bisa kita temukan di antara riuh rendahnya kita menggaungkan retorika trisakti Soekarno yang sudah disesuaikan ini: “berdaulat secara politik, Mandiri secara ekonomi, bermartabat secara budaya?

Indonesia membutuhkan kepemimpinan gerakan social-ekologis di tengah-tengan meredupnya kepemimpinan Negara di tangan SBY. Ayoooo Telapak gelorakan semangat perjuanganmu, tunjukkan kepemimpinanmu! Rebut kembali Indonesia yang hilang!

Selamat berpuasa bagi yang kawan yang sedang berpuasa…


Salam,
Abdon




Kami Tidak Minta Lebih dan Kami Tidak Mau Kurang

Pernyataan MS Kaban terkait keberadaan Sui Utik ketika masih menjabat sebagai Menteri Kehutanan Republik Indonesia.



Artikel yang dimaksud dalam tulisan di atas adalah:

PELANGGARAN WTO
Produk Negara Berkembang Diserang
Kompas - Senin, 30 Agustus 2010 | 03:47 WIB

Pada 2008 lalu lewat harian Washington Post, Richard Holbrooke, Utusan Khusus AS untuk Afganistan, menyempatkan diri mengkritik sikap Indonesia, yang sempat menolak Indonesia memberikan sampel virus flu burung. Sampel itu akhirnya diserahkan dan menjadi salah satu sumber pembuatan vaksin yang dipatenkan korporasi non-Indonesia.

Pada 5 Juli 2010 The New York Times memberitakan kecaman Greenpeace soal perusakan hutan oleh sebuah perusahaan Indonesia. Greenpeace pun meminta agar Wal-Mart, Hewlett-Packard, Carrefour, dan KFC memboikot produk kertas asal Indonesia itu.

Dua harian bergensi AS sempat memberikan perhatian untuk hal yang mengusik kedaulatan pembangunan. Harian tersebut abai soal pertambangan Indonesia, yang 80 persen dikuasai AS.

Mengapa pula Indonesia tidak berani bersikap seperti China, India, dan Rusia yang berani melawan bahkan menggugat NGO? Takut dianggap musuh oleh pendukung neoliberalisme yang sedang menancapkan proteksionisme hijau? Proteksi hijau ini ditegaskan James M Roberts dari Heritage Foundation, AS.

Ian Lifshitz, seorang kolumnis AS, menulis bahwa hal itu tidak juga terlepas dari semakin ketatnya persaingan global untuk bisnis hasil sektor pertanian dan produk-produk kehutanan. Dan, bukan rahasia lagi bahwa NGO itu mendapatkan pendanaan dari sejumlah korporasi.

Mengapa Greenpeace, seperti diberitakan di situs Greenpeace, telah mencapai kesepakatan dengan perusahaan sejenis dari Kanada? Kesepakatan itu, antara lain, mencakup juga penghentian kampanye ”jangan beli produk” buatan Kanada itu?

Bukan itu saja, sejumlah non-governmental organization (NGO) internasional juga menuduh perusahaan penghasil minyak sawit merusak hutan dan spesies berbahaya. Padahal, kontras dengan tuduhan itu, minyak sawit ramah lingkungan, mengonsumsi energi lebih sedikit, menggunakan sedikit lahan, pupuk dan pestisida lebih sedikit, dan menghasilkan minyak per hektar lebih baik daripada minyak sayuran.

Namun, kampanye yang juga dibiayai Eropa tetap gencar untuk menghentikan pengembangan produksi hutan, minyak sawit, dan produk lainnya. Ini akan menghentikan penciptaan lapangan kerja, peningkatan standar hidup, dan pengurangan kemiskinan di negara yang oleh NGO minta dilindungi.

Aturan korporasi menonjol

Pakar produk kehutanan Badan Organisasi Pangan Dunia (FAO), IJ Burke, mengatakan, sebenarnya banyak negara dan perusahaan, termasuk Indonesia, yang mencoba mengembangkan produk kehutanan dengan berlandaskan pembangunan berkelanjutan. Akan tetapi, hal itu sering diabaikan.

Aneka bentuk penghambatan produk pertanian dan kehutanan asal negara berkembang telah menjadi perhatian para pengamat perdagangan internasional. Ini hampir luput dari perhatian media.

Dalam artikelnya berjudul ”Institutional Emergence in an Era of Globalization: The Rise of Transnational Private Regulation of Labor and Environmental Conditions”, Tim Bartley dari Indiana University, Bloomington, AS, menuturkan bahwa kini makin banyak peraturan pasar yang didorong inisiatif korporasi dan bukan oleh pemerintahan, misalnya lewat WTO.

B Cabarle, Ketua Forest Stewardship Council (FSC); dan A Ramos De Freitas, pejabat keuangan FSC, juga meluncurkan artikel berjudul ”Timber certification and the pursuit of credible claims”.

Mereka berdua mengatakan, perhatian dunia makin terfokus pada isu perusakan hutan. Wujud dari perhatian itu, muncullah sertifikasi atas produk asal negara berkembang untuk menjamin produk itu bukan hasil perusakan hutan. Persoalannya, bermunculan aneka sertifikasi yang ditentukan tanpa mengindahkan suara negara berkembang. Di Inggris saja, minimal ada 600 jenis sertifikasi.

”Produk apa yang harus mendapatkan sertifikasi dan siapa yang menyusun sertifikasi,” demikian Cabarle dan Freitas. ”Keperluan untuk harmonisasi program sertifikasi secara internasional adalah tuntutan yang mendesak,” kata mereka.

Janji Komite Perdagangan dan Lingkungan WTO sejak 1995 adalah mengatasi segala persoalan terkait peraturan perdagangan terkait isu lingkungan. Hingga kini tidak ada harmonisasi internasional soal sertifikasi itu. Hal inilah yang membuat negara berkembang sangat curiga, negara maju hanya ingin memaksa pembukaan pasar negara berkembang, tetapi enggan membuka pasarnya. (MON)

1 komentar:

Unknown | Rabu, September 08, 2010 1:47:00 AM

TOP Banget Bapake tulisannya, saatnya telapakers mengejar mimpi-mimpi yang sudah mulai terbeli oleh kaum kapitalis, saatnya pembuktian dari semua mimpi yang terjepit oleh kepentingan penjilat-penjilat liar

Posting Komentar

Logo Telapak