Telapak dan IPB Dorong Pengembangan Community Logging

Marwan Azis, Jakarta.

Sebuah langkah maju dalam pengelolaan hutan di Indonesia mulai dilakukan oleh Perkumpulan Telapak dan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) dalam pengembangan hutan berbasis masyarakat yang dikenal dengan nama”Community Logging”.

Kedua lembaga tersebut pekan lalu menyepakati sebuah perjanjian atau Memorandum of Understanding (MoU) yang bertempat di Gedung Alumni IPB Bogor pekan lalu (7/6). Penandatangan nota kesepakatan tersebut menjadi bagian dari gerakan “from illegal logging to community logging” yang saat ini sedang diwacanakan oleh Perkumpulan Telapak dan mitra kerjanya serta sejumlah pihak lainnya.

Kegiatan tersebut didahului dengan diskusi yang membahas permasalahan dan pengembangan community logging di Indonesia yang diikuti berbagai kalangan seperti dari Departemen Kehutanan (Dephut), Kementerian Negara Lingkungan Hidup, Lembaga Ekolabel Indonesia, Telapak, IPB, Forest Wacth Indonesia (FWI), Aliansi Masyarakat Adat (AMAN), Jaringan untuk Hutan (JAUH) Sulawesi Tenggara dan Green Press (Perkumpulan Wartawan Lingkungan) dan sejumlah aktivis lingkungan.

Pihak Telapak (A.Ruwindrijarto) IPB (Dr Ir Didik Suharjito) dan Dephut (Lutfi) bertindak sebagai narasumber. Dalam pemaparannya Lutfi mengatakan, praktek hutan yang dilakukan masyarakat sesungguhnya dapat ditemukan di berbagai tempat di Indonesia seperti di Jawa Timur, Banten Jawa Barat dan luar Jawa dengan berbagai bentuk,”Ini adalah suatu fakta,”akunya.

Dikatakan, hutan tanah milik yang selama ini dikelola masyarakat telah memberikan kontribusi bagi perekonomian pedesaan dan fungsi ekologi seperti yang dipraktekan di daerah Gunung Progo yang melarang penebangan pohon.

Kehutanan lanjut Lutfi diamanatkan oleh UU untuk mengelola hutan untuk kesejahteraan rakyat melalui berbagai program seperti HKM (Hutan Kemasyarakatan) dan lain-lain. “Faktanya tidak sesuai tapi idenya bagus,”akunya.

Penyebab lainya gagalnya beberapa program HKM menurut Lutfi, adalah lemahnya kelembagaan dan akses pasar yang dimiliki masyarakat.”Banyak HKM yang pengelolaannya bukan dilakukan oleh rakyat, tetapi dilakukan oleh pengusaha karena lemahnya kelembagaan masyarakat,”paparnya.

Ia menekan agar community logging yang nanti akan memberikan ruang bagi rakyat dalam pengelolaan hutan agar tetap berpegang pada prinsip pelestarian hutan.

Hal senada juga diungkapkan, Dr Ir Didik Suharjito MS. Menurutnya pemerintah telah melakukan progres yang memberikan ruang bagi akses masyarakat melalui payung peraturan pemerintah (PP) No 41 tahun 1999 tentang kehutanan serta berbagai program kemitraan lainnya.”Semua itu membutuhkan dukungan dari semua pihak,”katanya.

IPB telah melakukan riset tentang pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang telah dibukukan dan disebar luaskan.”Kami juga ingin berperan langsung dalam community logging. Kesempatan ini kami sambut baik, kami punya modal ilmiah,”ujarnya.

Modal ilmiah tersebut menurutnya bisa dipake untuk memecahkan masalah kehutanan serta mengurangi kemiskinan di pedesaan,”Kemiskinan ini bisa diatasi dengan community logging,”tuturnya.

Sementara Wakil Sekjen Aliansi Masyarakat Adat, Mahir Takaka dalam persentasenya mengatakan, masyarakat adat punya modal demokrasi melalui musyawarah adat sehingga pemerintah tak perlu meragukan kemampuan masyarakat dalam mengelola hutan, apalagi masyarakat memiliki kearifan lingkungan yang secara turun temurun tetap dipakai yang terbukti bisa melestarikan lingkungan seperti masyarakat Tanah Toraja Sulawesi Selatan dan Masyarakat yang berdomisili di areal Taman Nasional Lore Lindu Sulawesi Tengah.

Diungkapkan pula, hingga saat ini jumlah komunitas masyarakat adat yang sudah terdaftar di AMAN yaitu sekitar 300 komunitas. Untuk membantu masyarakat adat tersebut AMAN menjalankan beberapa program diantaranya penguatan ekonomi masyarakat melalui kredit union dan pembentukan koperasi untuk mengatasi masalah kemiskinan serta pemberian layanan pendidikan dan kesehatan.

Selain itu, AMAN juga melakukan penguatan bagi masyarakat adat secara politik dengan cara merebut kepimpinan mulai dari tingkat desa hingga bupati.”Di Toroja, masyarakat telah merubah sistem pemerintahan menjadi pemerintahan adat,”ungkapnya.



Wacana Revisi UU No 41 Tahun 1999
Dalam kesempatan tersebut, Mahir juga mewacanakan perlunya revisi UU 41 tahun 1999 yang dinilai hanya berpihak terhadap pemilik modal dan merugikan masyarakat adat dan masih setengah hati memberikan ruang bagi masyarakat adat dalam pengelolaan hutan.

Diungkapkan, praktek pengelolaan hutan yang dilakukan oleh HPH memdampak kerusakan lingkungan yang cukup parah dan sangat merugikan masyarakat adat.”Kerusakan Ekologi yang cukup parah yang dilakukan oleh HPH, masyarakat adat sangat merasakan dampaknya,”tuturnya.

Community logging diperlukan kata Mahir, karena proyek pembangunan yang berorentasi pada devisa dan pendapatan terbukti gagal dalam sistem HPH dan HTI.”Hutan alam menipis yang tersebar dalam luasan areal yang kecil-kecil,”ujarnya.

Peserta yang hadir dalam acara tersebut, banyak menyoroti berbagai kebijakan Dephut dalam pengelolaan hutan yang dinilai tidak konsiten, tumpang tindih dan sering berganti-ganti setiap terjadi pergantian Menteri di Dephut.”Dephut terkesan setengah hati memberikan ruang bagi masyarakat, meski masyarakat telah berbuat, bahkan telah mendapatkan sertifikasi ekolabel internasional misalnya di Kopersai Hutan Jaya Lestari (KHJL) Kabupaten Konawe Selatan, namun hingga kini belum ada payung hukumnya,”kata Khalik Deputi Direktur JAUH Sulawesi Tenggara.

Sementara Ketua Badan Pengurus Perkumpulan Telapak A. Ruwindrijarto mengatakan, ada beberapa alasan yang mendasari MoU Telapak dan IPB yaitu berkaitan dengan tema kampanye SBY saat menjelang pemilu presiden adalah membangun perekonomian yang pro rakyat dan pasar.”Ini salah satu alasan community loging,”katanya.

Selain itu lanjut Ruwi, panggilan akrab Ruwindrijarto, berkaitan dengan informasi media dari pemerintah akan memberikan 9 juta hektar.”Ini perlu direspon, untuk siapa dan bagaimana mekanisme agar tidak terjadi konflik dan pro rakyat, lingkungan serta pro pasar. Kita ingin membantu kebijakan negara,”tambahnya.

Ruwi juga menjelaskan, bahwa inisiatif untuk mengembangan community logging bertujuan untuk mengubah pandangan pihak luar negeri yang senantiasa mengindentifkan kehutanan Indonesia dengan tindak “Illegal logging. “Ini harus diubah dari asosiasi illegal loging menjadi pro community logging,”tuturnya.

Berkembangannya pandangan tersebut tersebut tak lepas dari kampanye NGO terutama Telapak yang selama ini dikenal aktif dalam berbagai investigasi illegal logging, karena dipicu oleh maraknya penyeludupan ribuan kubik kayu dari Papua ke Malaysia dan Cina.”Sebagai anak bangsa, kami ingin membangun melalui IPB, mari kita balikan dengan mengubah dari ilegal menjadi community logging yang didukung oleh pemerintah dilakukan oleh masyarakat secara lestari,”tandasnya.

0 komentar:

Posting Komentar

Logo Telapak