Pengakuan Hukum Masyarakat Adat

Watak esensial hukum negara dan adat
Masyarakat adat adalah suatu komunitas sosiologis, bukan komunitas hukum negara. Komunitas hukum negara itu dibentuk oleh negara berdasarkan legalitas yang dimiliki oleh negara ( Souvereign power of the state ).

Produk dari bertukan negara itu adalah suatau konstrusi artifisial. Hukum negara adalah sebuah “
man-mode construct”. Adat tumbuh secara sosiologis atau alamiah. Ia muncul secara lebih serta-merta atau spontan. Hukum adat terbentuk melalui perilaku yang melembaga tanpa di buat dan dirancang secara khusus dan artificial oleh suatu badan.

Tidak ada perbedaan antara apa yang dikenhendaki oleh hukum adat dan yang dikehendaki oleh masyarakat adat. Adat/hukum adat itu tumbuh dari tradisi yang memiliki dimensi sosiologi – anthropologis, juga memiliki ketertanaman (
embeddedness ) atau keterkaitan dalam / pada alam yang kuat ( deepecology ).

Pembentukan comunitas dan kaidah adat memperhatikan dan menyatu dengan alam, tidak melawan alam. Adat menerjemahkan manusia-cum-alam ke dalam tatanannya.

Adat adalah perwujudan kearifan komunitas setempat dalam bergaul dan memelihara / menjaga alam.
Hukum negara : menghadapi, menguasai dan mengontrol alam
Adat : berdamai, menjaga, dan memelihara alam

Interaksi hukum negara dan adat
Interaksi antara hukum negara dan hukum adat tak dapat dihindari.

NRI mengklaim sebagai negara yang akan berdaulat atas seluruh wilayah Indonesia. Hukum nasional ( baca : hukum negara ) adalah hukum modern, produk legislasi.

Maka pada tempat dan waktu yang sama, bekerja hukum negara dan adat. Van Vollenhoven mencatat ada 19 lingkungan hukum adat. ( adat rechtskringen ) di dalam wilayah Hindia – Belanda. Negara memiliki arsenal kekuatan yang jauh di atas adat.

Dari perspektif sosiologi hukum keadaan tersebut menimbulkan interaksi kekuatan (
Power relations ) antara keduanya.

Politik hukum ( negara )
Politik hukum negara menghendaki dan menentukan, bahwa berdasarkan prinsip kedaulatan negara, maka negara menentukan mana hukum yang berlaku dan tidak di dalam wilayah Indonesia.

Politik hukum negara menentukan dimana, kapan,sampai dimana dan dengan syarat apa, adat itu berlaku.

Politik hukum positif
Hukum Nasional didasarkan pada hukum adat ( Sumpah Pemuda 1928 berikrar : satu bangsa / Indonesia, satu tanah air / Indonesia, satu bahasa / Indonesia dan satu hukum / hukum adat ).

Secara hukum masalahnya selesai, tetapi menimbulkan problem sosiologi hukum, karena kekuatan riel hukum negara dan adat adalah tidak seimbang.

Negara memiliki sekalian kekuatan untuk menjalankan (
to enforce ) hukum negara, jauh di atas adat. Maka disini terjadi sebuah anomali.

Adat menjadi landasan hukum nasioanal, tetapi keberlakuannya ditentukan oleh hukum nasioanal ( baca : hukum negara ). Kalau hukum adat memang menjadi landasan hukum nasional, maka hukum nasioanal tidak boleh mengatur – aturanya.
Hukum adatlah yang justru seharusnya menyusui hukum nasional.

Mendudukan hukum negara dan hukum adat
Adat manjadi sumber yang menyusui hukum nasional. Hubungan antara hukum nasional / negara dan adat tidak vertikal, melainkan horisontal.

Adat di bangun atas kearifan puluhan / ratusan tahun, sehingga sudah teruji. Pengalaman menunjukkan peminggiran komunitas lokal berarti pengingkaran terhadap kearifan lokal, yang telah menimbulkan suatu “
Social evil “ di waktu lalu. Pembuatan UU 1979 no.5 tentang pemerintahan di Daerah telah merobohkan suatu orde dan kearifan lokal dengan sekalian akibatnya ( Apa itu dapat digolongkan “ crime by legislation”? ).

Perundang – undangan sekarang perlu menampilkan paradikma baru, yaitu “ Lingkungan Hidup ” (
deepecology ) dan untuk itu hukum adat memberi banyak pelajaran ....

Perundang – undangan tanpa kearifan lingkungan bisa dikuasai oleh kepentingan individual sesaat dan kerakusan.

Tulisan ini dibahas dalam sebuah FGD di DPD-RI tgl.4 Mei 2008, disampaikan oleh Satjipto Rahardjo
(www.aman.or.id).

0 komentar:

Posting Komentar

Logo Telapak