Surat Mas Hamdaru dari Hollandia
Seorang teman, Mas Hamdaru panggilan kerennya tadi siang memasrahkan padaku hasil curahan uneg2nya dalam bentuk surat elektronik (e-mail) selama perjalanan beliau di Hollandia. Begitu membaca … weleh2 buanyak buangeet sampai aku sendiri pusing membacanya. Ternyata seorang Mas Hamdaru begitu menikmati perjalanan Eropanya yang pertama ini. Sebagai informasi saja, Mas Hamdaru adalah seorang eks-pegawai bank tertua di Indonesia (red: BRI), tapi bukan yang di kota besar. Karir terakhirnya di BRI adalah sebagai penyelia kredit buat masyarakat pedesaan di seputaran Kabupaten Bogor.
Membaca surat2 beliau sempat membuatku merasa iri. Mengapa aku tidak terbiasa menulis surat untuk bercerita apa saja kepada sanak keluarga maupun kawan dekat selama ini? Mas Hamdaru yang sangat sederhana ini ternyata lebih mampu mengungkapkan kabar saat ia berada jauh dari keluarganya dibandingkan diriku.
Berikut beberapa cuplikan dari surat2 beliau. Mas Hamdaru, lelaki berumur 30-an kelahiran Madiun, bapak dari tiga anak, dan suami dari seorang perempuan yang hebat asal Purasari, Leuwiliang berututur ……
Kepada Saiful [salah seorang teman Mas Hamdaru dalam bisnis pertanian organik]
“Aku sekarang sudah ada di Belanda. Cuaca sangat dingin di sini. Suhu 5 derajat di malam hari dan 12 derajat di siang hari. Makanan cukup mahal, yang paling murah harganya 2 Euro (sekitar 30 ribu) tadi barusan aku cari nasi di makanan cina. Nasi putih saja harganya 3 Euro (45 ribu). Hari pertama perutku sudah sakit, mungkin kebanyakan makan sambal dan mie instant, he he …”
“Kasih kabar ke teh Yeni, kalau mau kirim kabar lebih baik lewat e-mail karena murah dan bisa banyak nulisnya kabarnya. Sms cukup mahal juga, sekali sms 6 ribu. Aku terima sms juga kena bayar 6 ribu.”
“Banyak potensi untuk jualan buah di Eropa. Manggis sudah aku promosikan. Semoga ada cantolan pembeli yang bagus.”
Kepada Budi Sariyanto [rekan kerja Mas Hamdaru di Badan Usaha Jawa Barat]
“Kabar yang baik sekali, eh tahu ndak aku sudah dihafal oleh café yang jadi langgananku beli nasi. Dia selalu bilang “only rice?” setiap aku datang mau beli nasi. Maksudnya dia tanya “mau beli nasi saja kan..?” , begitu karena mungkin hanya aku saja yang beli nasi saja tanpa lauk dan minum di kedainya dia, yang menurut dia aneh saja. Aku mau makan pakai apa.. karena biasanya yang makan /beli selalu dengan paket lengkap. Ndak tau dia.. kalau aku bawa kering tempe,sambel kacang dan teri dari Indonesia he he…Ngirit.”
Kepada istri Mas Hamdaru
“Saat ini di Belanda sedang musim panas, walaupun suhu kadang masih sangat extreme di pagi dan malam hari. Bisa sampai 4 derajat. Heran ya … ternyata disini kalau musim panas waktu siang sangat panjang. Jam 11 malem baru sholat Isya. Jam 3.30 sudah Subuh. Wah … repot banget kalau puasa di musim panas!
Siang tadi aku belanja di swalayan dengan Mas Didit, salah satu teman mahasiswa Indonesia yang aku numpang menginap. Belanja paling mahal yang pernah kulakukan di Belanda, habisnya 18 Euro. Dapat 2 kantong besar belanjaan. Jumlah segitu sebenarnya ndak terlalu besar untuk ukuran orang Belanda. Kita beli minyak goreng, beras, telur, indomie, ikan segar dan sayuran. Indomie-nya rasa ayam bawang buatan indofood. Gile ndak …!!! Ada juga sambel kacang dari Blitar!! Tapi aku ndak beli ..mahal banget!! Lagipula persediaan sambelku masih banyak.
Mas Didit ngajak aku beli burger buatan orang muslim. Ditulis “Halal”. Harganya 3,5 Euro .... cukup mahal tapi ternyata gede banget Ma..!!!! Burger kami bagi 3 dan cukup untuk makan kami bertiga.”
Demikian cuplikan surat2 dari Mas Hamdaru, semoga bisa menggugah kita semua tentang arti keluarga, kabar, dan tak lupa idealisme Penelapak! Tautan lain mengenai kegiatan Mas Hamdaru yang sederhana ini dapat dibaca pada alamat berikut http://www.porosnusantara.com/
Buat Mas Hamdaru, mohon maaf bila ternyata tulisan ini belum mampu memenuhi keinginan hati anda untuk membagi cerita …
1 komentar:
Hush, sepertinya baru dua; yg satu lagi dari siapa :-(
Posting Komentar