Mendambakan Medan Nan Beradab

Jika Guru Patimpus masih hidup, mungkin beliau akan terperangah menyaksikan perkembangan luar biasa dari “kampoeng” yang dibukanya 420 tahun lalu. Semula hanya dihuni oleh puluhan sanaknya, “kampoeng” itu kini menjadi sebuah negeri seluas lebih kurang 26.510 hektar dan dimukimi lebih dari 2.7 juta jiwa. Di kota ketiga terbesar di Indonesia, dengan moto “Menuju Medan metropolitan yang sejahtera, madani, humanis dan religius” pada masa kini seorang warga mungkin tidak saling kenal dengan tetangga sebelah rumahnya. Dinamika hubungan wargakota hanya dipertemukan lewat pesta hajatan yang diwarnai salaman sekadarnya, obrolan basa-basi serta suguhan makanan bermenu seragam. Perjumpaan lain adalah takziah kematian atau kunjungan seremonial di hari besar keagamaan dengan pola interaksi yang kurang lebih sama. Andai berhalangan dan tidak sempat berkunjung, maka kehadiran cukup digantikan dengan karangan bunga, berikut pilihan kata-kata yang hampir tak ada bedanya.

Peradaban kota dan warganya tentu tak hanya bisa dinilai di lingkungan pemukiman. Bagian kota lainnya, semisal prilaku di jalan raya dan kehidupan sekitar sungai yang membelah kota juga merupakan bagian yang dapat menggambarkan keberadaban kota Medan dan warganya.

Warga Impolitan
Tanpa bermaksud menyederhanakan makna keberadaban, salah satu dinamika warga yang menarik untuk diamati adalah perilaku warga dalam menggunakan jalan raya. Dalam hal ini, kota Medan mempunyai keunikan tersendiri yang tidak ditemukan di kota lainnya. Pada jam-jam sibuk – saat pekerja, pedagang, pelajar pulang dan pergi ke tempat yang dituju – badan jalan dipenuhi berbagai kenderaan. Pada waktu ini, pembagian badan-badan jalan menjadi tidak berguna sama sekali. Trotoar yang semestinya diperuntukkan bagi pejalan kaki, menjadi tempat lintasan tercepat bagi sepeda motor. Pengemudi dengan lincah meliuk-liuk di antara lapak bongkar-pasang pedagang kaki-lima dan sesekali menyerempet tubuh pejalan kaki. Di perampatan, marka atau rambu jalan tak bermakna apa pun. Pengendera yang berniat membelok ke kiri tidak bisa langsung jalan, karena tertahan oleh pengendera lainnya yang berhenti di jalur kiri menanti lampu setopan menyala hijau. Dalam banyak kejadian, lampu setopan tidak berarti apa-apa. Warna merah bagi warga kota Medan bukan tanda harus berhenti. Perempatan jalan menjadi lokasi pengamatan strategis untuk membagi manusia yang menerobos lampu merah atas 4 kategori. Pertama, mereka menerobos karena buta warna (cacat) yang tidak bisa membedakan hijau, kuning dan merah. Kedua, mereka ini adalah manusia berwatak jahat, karena prilaku menerobos lampu merah nyata-nyata membahayakan orang lain dan diri sendiri. Ketiga, mereka adalah warga kota yang benar-benar tolol (bebal) yang tidak pernah mau mengerti bahwa warna merah adalah isyarat kenderaan harus berhenti. Keempat, ini lah kategori orang Medan yang sok jago dan menganggap dirinya paling hebat, untuk itu orang lain harus toleran, takut dan mengalah padanya. Uniknya, keempat kategori tak beradab ini menjangkiti wargakota pada berbagai status sosial (miskin atau kaya), jenjang kepangkatan (prajurit atau perwira), peringkat jabatan (pesuruh atau atasan), serta kadar pemahaman keagamaan (jemaat atau ulama).

Yang lebih mengherankan adalah mengamati kenyataan bahwa institusi pendidikan tak berfungsi efektif membentuk adab wargakota. Keempat kategori manusia tak beradab justeru dengan mudah dilihat di perempatan jalan dekat kampus dan sekolah-sekolah. Dan, badan jalan di sekitar kampus dan sekolah menjadi tempat parkir panjang yang mengundang kemacetan. Di halaman sekolah dasar dan menengah, berjejer kenderaan bermotor siswa. Mustahil bila ditinjau dari usianya, para siswa ini berhak mendapatkan izin mengemudi (SIM). Para guru dan peraturan sekolah ternyata tidak melarang pelanggaran aturan ini. Para siswa agaknya hanya dimotivasi untuk mempertinggi Indeks Prestasi (IP) dan Nilai Ebtanas Murni (NEM). Bukan didorong menjadi wargakota yang beradab. Anehnya, dalam usia yang belum layak ini banyak pula siswa yang mengantongi SIM. Keteledoran polisi – yang disengaja ini - tentu berkontribusi signifikan bagi munculnya prilaku warga yang impolitan, yakni warga yang berpendidikan namun tidak “polite”, tidak santun, atau tidak beradab. Selain itu, menarik juga mencari jawab mengapa polisi lalu lintas dan petugas dinas perhubungan tidak bekerja efektif ketika membiarkan truk sarat muatan menghancurkan jalanan kota dan membenarkan beberapa warga kota menutup jalan raya seenaknya demi hajatan bersifat sangat personal namun merugikan banyak warga lainnya. Semua prilaku di atas mencerminkan ketidakberadaban wargakota.

Produsen Polutan
Salah satu alasan klasik dan rasional dalam menanggapi kota yang tidak tertata baik adalah meningkatnya populasi warga yang menuntut penyediaan sumber-sumber layanan dalam batas yang tak terpuaskan. Dalam perspektif ekologi, penyediaan sumber layanan berimplikasi pada rusaknya sumberdaya alam dan tercemarnya lingkungan hidup. Implikasi ini dapat pula ditemukan di kota Medan. Panel indikator pencemaran udara berharga mahal – namun berusia pendek – menunjukkan kualitas cemaran udara yang mengancam kesehatan wargakota. Di dalam kota, sebagian besar cemaran ini dihasilkan dari emisi kenderaan bermotor yang bersileweran memadati ruas-ruas jalan. Dalam konteks ini, wargakota pengguna kenderaan menjadi produsen cemaran (polutan). Produsen polutan ini terus bertambah dari waktu ke waktu dan sungguh menarik jika dikaitkan dengan maraknya bisnis aneka otomotif dengan cara kredit (hutang). Boleh jadi, meningkatnya jumlah sumber-sumber pencemar (kenderaan bermotor) berbanding lurus dengan berkembangnya budaya hutang di kalangan warga. Merebaknya budaya hutang membuka peluang bagi terbentuknya kebohongan, penipuan, dan jalan pintas mengambil keputusan untuk mendinamisir kehidupan yang enak dan nyaman. Andai demikian, maka kredit kenderaan lalu memproduksi polutan selanjutnya melangar aturan lalu lintas adalah rentetan prilaku tak beradab dari wargakota.

Bagian lain yang dapat menunjukkan keberadaban kota Medan dari segi memproduksi polutan adalah lingkungan sekitar sungai. Badan sungai menjadi saluran akhir pembuangan limbah domestik, pasar, hotel, rumah sakit, industri dan perkantoran. Tepian sungai menjadi tempat mandi dan cuci, sekaligus menjadi jamban terpanjang sembari mempertontonkan aurat. Menyikapi ketidakberadaban ini, para pemimpin kota menuntut partisipasi aktif masyarakat untuk mengatasinya. Namun, para penuntut ini tidak mawas diri karena prilaku wargakota sesungguhnya meniru prilaku pemimpinnya. Pemimpin beradab akan menghasilkan wargakota yang beradab pula, begitu pula sebaliknya. Para pemimpin kota semestinya mengetahui bahwa aturan negara tidak membolehkan mendirikan bangunan – termasuk pemukiman – pada batas tertentu di bantaran sungai. Dan, pelanggaran aturan – sebagai wujud ketidakberadaban – memperlakukan ekosistem sungai sesungguhnya telah dipertontonkan sejak lama oleh para pemimpin kota. Kantor walikota, gedung wakil-wakil rakyat yang terhormat, pusat belanja orang berduit, rumah sakit bertarif mahal, perkantoran warga berpendidikan, hotel mewah berbintang, industri penghasil kebutuhan warga dan lain sebagainya - semuanya berpotensi sebagai produsen polutan yang mencemari sungai - ternyata dibangun di bantaran sungai. Kebijakan dan keputusan merealisasikan ini adalah hasil persekongkolan para pemimpin. Para pemimpin kota telah bersubahat mempertontonkan kebijakan dan keputusan yang amat mudah dimengerti sebagai pelanggaran aturan. Oleh karena itu, adalah kurang beradab untuk serta merta menyalahkan wargakota melalui ungkapan perlunya partisipasi masyarakat dalam menyelesaikan masalah penataan bantaran sungai dan pencemarannya. Masyarakat justeru hanya meniru tingkah polah pemimpinnya – melanggar aturan - dengan kadar yang sesuai dengan kemampuannya.

Bukan Impian
Medan nan beradab memang bukan visi spesifik para pemimpin kota, namun wargakota yang waras sudah pasti mendambakannya. Setelah berusia 420 tahun, sudah selayaknya kota Medan menjadi tempat yang nyaman untuk dimukimi, aman untuk berusaha, dan tenang untuk belajar. Untuk mencapai keadaan ideal itu, diperlukan struktur ekonomi yang mengarah pada penggerusan sumber-sumberdaya alam dan energi. Upaya ini pasti berakibat pada kerusakan sumberdaya alam dan tercemarnya lingkungan hidup. Selain itu, struktur sosial menghendaki kenyamanan yang berorientasi pada perlindungan privasi dan menonjolkan prestise. Gaya hidup seperti ini akan menjauhkan diri dari pergaulan sosial yang intens. Dengan gaya hidup seperti ini maka kepedulian pada orang lain, kepekaan pada persoalan bersama serta penghargaan pada prestasi dan kerja keras tidak menjadi bagian keseharian warga. Potensi penyumbang ketidaberadaban itu memerlukan perubahan radikal, yang dapat merombak orientasi dan gaya hidup masyarakat. Perobahan ke arah itu bukan lah impian, karena konsisten terhadap aturan dan serius menegakkannya merupakan peluang untuk mewujudkan dambaan. Disiplin berkendera di jalan-jalan protokol adalah contoh terbaik dalam skala kecil tentang Medan nan beradab. Karena itu, replikasi hal ini pada berbagai tempat di kota Medan bukan lah sesuatu yang utopia. Kunci penting bagi perubahan orientasi dan gaya hidup wargakota, terletak pada keyakinan, kehendak dan kelakuan para pemimpin. Mereka lah lokomotif perubahan yang membawa gerbong lain ke arah Medan nan beradab. Jika tidak, maka hukum suksesi - baik alami mau pun rekayasa -akan berlaku. Kepadatan populasi, penyesuaian, persaingan, pertikaian, kekacauan, penghancuran, penataan ulang dengan ongkos teramat besar menjadi proses yang niscaya. Korban pertama adalah lapisan wargakota yang rentan dan tak berdaya. Mengorbankan mereka adalah tindakan biadab. Dirgahayu 420 tahun kota Medan.


Fachrurrazi “Rajidt” Ch. Malley
(Penulis adalah pengemar kegiatan di alam bebas, domisili di Medan).

1 komentar:

Rita | Rabu, November 10, 2010 10:09:00 PM

membaca tulisan ini, jadi inget kolom opini samuel mulia, terbit setiap minggu di kompas. keresahan, kegalauan hati si penulis menjadi inspirasi topik kolom minggu itu. aku juga senang isu sungai disebut-sebut di sini. masih ngurusin pelurusan sungai deli bang?

kadar pemahaman agama antara jemaat dan ulama beda yah?

Posting Komentar

Logo Telapak