13 Raja Sawit Kuasai Papua
JAKARTA -- Sebanyak 13 perusahaan siap membangun perkebunan kelapa sawit di Papua dengan luas lahan 352.651 hektare. Lima perusahaan di antaranya telah mulai beroperasi dan selebihnya masih dalam proses persiapan lahan.
Direktur Perbenihan dan Sarana Produksi Direktorat Jenderal Perkebunan Departemen Pertanian Darmansyah Basyaruddin optimistis, dengan nilai total investasi triliunan rupiah, kesejahteraan masyarakat Papua akan terdongkrak. "Puluhan ribu tenaga kerja akan terserap sehingga saya yakin kesejahteraan masyarakat Papua bisa terwujud," kata dia kepada Tempo kemarin.
Pemerintah mensyaratkan lebih dari separuh tenaga kerja yang dibutuhkan setiap perusahaan harus diutamakan penduduk lokal. Khusus untuk tenaga ahli, bila tak tersedia, bisa diambil dari daerah lain. Selain itu, kata Darmansyah, pemerintah meminta para investor tersebut menerapkan pola kemitraan. "Antara lain 20 persen bahan baku harus diambil dari perkebunan milik rakyat."
Soal luas lahan bagi industri sawit di Papua, Direktur Jenderal Tanaman Perkebunan Departemen Pertanian Achmad Mangga Barani pernah menyebut angka 885.140 hektare, tersebar di 19 kabupaten. Papua, kata dia, tempat yang sangat potensial untuk sawit. "Struktur tanah dan iklimnya cocok," ujarnya. "Perkebunan di Papua juga belum begitu padat seperti di Kalimantan dan Sumatera."
Ketua Dewan Adat Biak Yan Pieter Yarangga tak serta-merta menerima semua rencana itu. Sebab, menilik kiprah perusahaan yang telah lebih dulu beroperasi, mereka lebih mengutamakan tenaga kerja dari luar Papua. "Belum ada perusahaan sawit yang memberikan kontribusi untuk masyarakat adat sekitarnya," kata dia dalam seminar "Selamatkan Manusia dan Hutan Papua" LSM Telapak di Hotel Cemara, Senin lalu.
Juru kampanye Greenpeace, Bustar Maistar, mengiyakan pendapat Yan. Dia merujuk pada perkebunan kelapa sawit di Prafi, Manokwari, dan di Arso yang hampir sebagian besar pengelolaan lahannya dilakukan warga transmigran. Adapun penduduk Arso masih memanfaatkan lahan mereka sebagai tempat berburu. "Kami juga khawatir pembukaan lahan sawit akan menambah risiko terjadinya deforestasi," ujarnya di acara yang sama.
Menurut Septer Manufandu, Ketua Forum Kerja Sama LSM Papua, laju degradasi dan deforestasi hutan tercatat 1,08 juta hektare per tahun. Saat ini, dari 31 juta hektare hutan yang tersisa, seluas 17,8 juta hektare ada di Papua dan luasnya semakin berkurang dari tahun ke tahun. "Jangan sampai apa yang terjadi di Sumatera dan Kalimantan terjadi juga di Papua," ujarnya.
Menyikapi kekhawatiran itu, Kepala Bidang Pengukuhan Kawasan Hutan Badan Planologi Departemen Kehutanan M. Said mengatakan pembukaan lahan sawit hanya boleh dilakukan di kawasan hutan produksi konversi (HPK). "Di luar itu tidak akan kami izinkan," ujarnya kepada Tempo.
HPK adalah kawasan hutan bekas produksi yang sudah tidak produktif lagi dan bisa dialihfungsikan menjadi kawasan nonkehutanan. Menurut data Badan Planologi, luas hutan produksi di Papua sekitar 30 persen dari total luas hutan Papua atau sekitar 12,6 juta hektare.
Darmansyah menyatakan pembukaan lahan sawit harus sesuai dengan prinsip dan kriteria produksi perkebunan sawit lestari, seperti tertera pada Roundtable on Sustainable Palm Oil. "Bila tak sesuai, ya, tak diizinkan untuk beroperasi."
Sumber : Koran Tempo Online 25/06/08
0 komentar:
Posting Komentar