Pertemuan terakhir dengan Pace Agus
Aku jadi membayangkan Agus di Sorong sana. Sungguh tidak kita ketahui dengan baik. Arbi bilang, kita percaya karena dia Telapak, bahwa dia ber-Telapak walau dia dimana berada. Aku sepakat dengan panjang lebar penjelasan Arbi tentang bagaimana kita saling percaya atas apa yg dikerjakan masing2 anggota.
Tapi jauh di dalam hati, ada sesuatu yg meresahkan, dan itu bukan soal aktivitas ketelapakan. Hanya sebuah sapaan biasa, cerita tentang hidup, tentang kabar seorang teman...
Misalnya saya ingat dia pernah operasi jantung (atau apa yah pokoknya termasuk penyakit berat), diumumkan di Hayati oleh seseorang dari sekretariat, dan kita diminta urunan bagi yg bersedia. Tapi setelah itu, tidak ada lagi kabar atau cerita lanjutan.
Ternyata kita tidak saling tahu kondisi kesehatan masing2 dari kita. Atau informasi apalah seputaran hidup, yg mungkin buat sebagian dari kita menganggap hal seperti itu tidak banyak gunanya, tidak lajim dibicarakan dan di-share.
Tapi aku sendiri merasa nyaman jika kita tahu keadaan teman kita, tidak melulu yg soal kerjaan atau aktivitas bergerakan atau berprojek, tapi apalah sebagai manusia biasa. Entah karena kita jarang menulis dan berkirim kabar, baik melalui milist hayati atau media lain. Juga sekalinya menulis topik yg menurutku lebih bersifat chauvinist, sangat kelaki-lakian. Tidak ada lagi topik2 yg biasa2 saja tetapi merupakan suatu ciri layaknya seorang teman. Setidaknya ini yg semakin garing kurasakan.
Kenangan Bertelapak bersama Pace Agus di Papua
Maret 2009,
Perjalanan pembangunan koperasi comlog Masyarakat Adat Knassaimos. Meskipun sdg sakit, Pace Agus menguatkan diri untuk ikut turun ke lapangan bersama saya dari Sorong ke Teminabuan. Hari kedua di lapangan pace merasa sakit semakin parah, saya langsung carikan tiket pesawat untuk membawa pace segera kembali ke Sorong untuk menjalani perawatan, Alhamdulillah hari itu juga kami dapat tiket pesawat yang sangat terbatas (hanya 6 kursi). Hari itu juga pace langsung kembali ke rumah dan mendapat perawatan.
Juni 2009,
Perjalanan pelatihan inventarisasi potensi comlog Knassaimos dan Shywa. Mendarat di bandara Sorong, pace sudah menunggu, dengan cara jalan yang sudah mulai lamban terlihat pace sedang sakit. Namun dengan semangatnya pace mengatakan,”Yayat, saya sudah semakin sehat sekarang, siap untuk turun ke lapangan. Silahkan Yayat turun duluan ke Teminabuan, saya menyusul lusa karena harus mengurus sekolah anak-anak ”. Lusanya, sms masuk dari pace,”Kawan Yayat, maaf saya jatuh sakit lagi sehingga tidak bisa turun ke lapangan”, saya telpon pace dan mengatakan untuk tidak usah khawatir, pace bisa lanjutkan perawatan.
21 Juli 2009, jam 5 sore,
Pace Agus telpon,” Yayat, saya baru kembali dari lapangan, taman bacaan rakyat yang kita bangun kemarin membutuhkan kiriman buku2, bisakah Telapak mengirimkannya ke alamat saya di Sorong”, saya jawab siap, Telapak akan kirim buku ke Shywa dan Knassaimos, karena Knassaimos juga membangun taman bacaan rakyat di Teminabuan.
Itulah pesan terakhir Pace Agus, beliau masih terus berjuang untuk kesejahteraan masyarakat adat meskipun dalam kondisi sakit-sakitan, sampai akhir hayatnya beliau masih terus memikirkan kesejahteraan masyarakat adat.
Mudah-mudahan menjadi inspirasi perjuanganbagi kita sahabat-sahabatnya.
Salam,
M. Yayat Afianto dan Rita S. Mustikasari
0 komentar:
Posting Komentar